Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali bergerak melemah pada perdagangan Rabu pekan ini. Dolar AS menguat terdorong kenaikan imbal hasil surat utang AS.Â
Mengutip Bloomberg, Rabu (16/5/2018), rupiah dibuka di angka 14.070 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.037 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah diperdagangkan di angka 14.070 per dolar AS hingga 14.108 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah 3,99 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.094 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.020 per dolar AS.
Baca Juga
Dolar AS memang kembali menguat terutama terhadap negara-negara berkembang karena imbal hasil surat utang AS berjangka waktu 10 tahun yang merupakan patokan surat utang melampaui angka 3 persen.
Indeks Dolar yang mengukur nilai tukar mata uang dolar AS terhadap sekeranjang mata uang dunia mantap di posisi 93,270 setelah sempat menyentuh di angka 93,457, yang merupakan angka tertinggi sejak 22 Desember.
Dolar AS mulai menguat sejak April lalu setelah ketegangan di semenanjung Korea dan perang dagang AS dengan China mulai mereda.
Saat ini, penguatan dolar AS terdorong oleh angka pengeluaran konsumen atau belanja konsumen yang membaik sehingga mendorong ekspekstasi akan rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS.
"Dolar AS menguat terhadap euro, yen dan juga beberapa mata yang lain. Ini akibat imbal hasil surat utang AS yang menonjak ke puncak dalam tujuh tahun di 3,095 persen," jelas analis IG Securities,Tokyo, Jepang, Junichi Ishikawa.
Sentimen Global Lebih Menekan Nilai Tukar Rupiah
Sebelumnya, sentimen dari global masih terus menghantam pasar keuangan sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang April-Mei 2018. Mata uang rupiah telah melemah 2,99 persen sejak awal tahun (ytd) terhadap dolar Amerika Serikat (AS), atau berada pada level 13.960 pada 11 Mei 2018.
Mengikuti pergerakan Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 6,28 persen (ytd) atau pada level 5.956,83. Begitu pun, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang melemah 1,73 persen (ytd).
PT Bahana TCW Investment Management sebagai salah satu anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) melihat pelemahan yang terjadi pada rupiah terhadap dolar AS cenderung disebabkan dari faktor eksternal dan bukan dari dalam negeri, baik itu kebijakan fiskal maupun moneter.
"Dari segi fiskal, baik itu pemasukan, pengeluaran, dan pembiayaan menunjukkan angka yang bagus. Bank Indonesia pun juga melakukan intervensi dengan melepas valas hingga USD 7 miliar. Hal ini memperlihatkan kebijakan BI yang mempertimbangkan faktor stabilisasi dan pertumbuhan, sehingga ditempuh dalam bauran kebijakan (policy mix)," ujar Budi Hikmat, Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management.
Budi menuturkan, masalah yang kini menimpa mata uang rupiah adalah sentimen eksternal, baik itu dari stimulus Pemerintah AS yang di bawah Presiden AS Donald Trump yang memangkas pajak korporasi, sehingga berpeluang bagi bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga.
"Di samping itu, dolar AS menguat dan berbalik arah (unwind position) hampir terhadap sejumlah kurs mata uang asing," ujar dia.
Akan tetapi, lanjut Budi, Rupiah bukan satu-satunya mata uang yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
"Kami melihat publik perlu teredukasi menyikapi pelemahan rupiah. Secara global, koreksi rupiah tak terlalu dalam dibandingkan sejumlah mata uang negara berkembang lainnya," ujar Budi.
Advertisement