Sentimen Global Lebih Menekan Nilai Tukar Rupiah

PT Bahana TCW Investment Management menyatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS cenderung disebabkan faktor eksternal dan bukan dari domestik. Salah satunya, stimulus pemerintah AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Mei 2018, 11:47 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2018, 11:47 WIB
20161109- Donald Trump Unggul Rupiah Terpuruk-Jakarta-Angga Yuniar
Petugas menunjukkan mata uang dolar dan mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Rabu (9/11). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada saat jeda siang ini kian terpuruk di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sentimen dari global masih terus menghantam pasar keuangan sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang April-Mei 2018. Mata uang rupiah telah melemah 2,99 persen sejak awal tahun (ytd) terhadap dolar Amerika Serikat (AS), atau berada pada level 13.960 pada 11 Mei 2018.

Mengikuti pergerakan Rupiah,  Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 6,28 persen (ytd) atau pada level 5.956,83. Begitu pun, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang melemah 1,73 persen (ytd).

PT Bahana TCW Investment Management sebagai salah satu anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) melihat pelemahan yang terjadi pada rupiah terhadap dolar AS cenderung disebabkan dari faktor eksternal dan bukan dari dalam negeri, baik itu kebijakan fiskal maupun moneter.

"Dari segi fiskal, baik itu pemasukan, pengeluaran, dan pembiayaan menunjukkan angka yang bagus. Bank Indonesia pun juga melakukan intervensi dengan melepas valas hingga USD 7 miliar. Hal ini memperlihatkan kebijakan BI yang mempertimbangkan faktor stabilisasi dan pertumbuhan, sehingga ditempuh dalam bauran kebijakan (policy mix)," ujar Budi Hikmat, Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, seperti ditulis dari keterangan tertulis, Selasa (15/5/2018).

Budi menuturkan, masalah yang kini menimpa mata uang rupiah adalah sentimen eksternal, baik itu dari stimulus Pemerintah AS yang di bawah Presiden AS Donald Trump yang memangkas pajak korporasi, sehingga berpeluang bagi bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga.

"Di samping itu, dolar AS menguat dan berbalik arah (unwind position) hampir terhadap sejumlah kurs mata uang asing," ujar dia.

Akan tetapi, lanjut Budi, Rupiah bukan satu-satunya mata uang yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS.

"Kami melihat publik perlu teredukasi menyikapi pelemahan rupiah. Secara global, koreksi rupiah tak terlalu dalam dibandingkan sejumlah mata uang negara berkembang lainnya," ujar Budi.

"Pengelolaan makroekonomi Argentina yang kurang bagus melandasi koreksi nilai tukar dan kenaikan suku bunga tertinggi di dunia. Sebagai contoh, mata uang Argentina Pesso terkoreksi 24,6 persen (ytd), Filipina Peso terkoreksi 4,93 persen (ytd), India Rupee melemah 5,42 persen (ytd), mata uang Brazil melemah 8,69 persen (ytd),” tambah Budi.

Sementara, harga minyak dunia yang terus melambung, ikut memicu defisit impor minyak pada kuartal I 2018. Kenaikan harga minyak telah memicu defisit minyak naik 13 persen (yoy) atau dibandingkan kuartal satu tahun lalu. Sementara itu, neraca dagang Indonesia di kuartal yang sama membukukan surplus USD 280 juta, turun signifikan hingga 93 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu dengan surplus sebesar USD 4,08 miliar. 

Pelemahan rupiah juga dipengaruhi faktor kebutuhan valuta asing yang dikumpulkan oleh korporasi nasional sebagai pembayaran dividen ke luar negeri. Pola pembayaran dividen berupa valuta asing, yang umum terjadi di kuartal dua telah menyebabkan Rupiah tertekan.  Sementara itu, dana asing terus keluar (capital outflow) dari pasar obligasi dan IHSG sebagai dampak dari pelemahan Rupiah.

Secara global, dugaan Fed rate naik lebih banyak memicu kenaikan yield T-bond. Yang selanjutnya berisiko memicu kenaikan yield boligasi banyak naik, akibat aksi ambil untung investor asing. 

 

Makro Ekonomi RI Masih Positif

2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Darmin Nasution, masih kecil lantaran belum ada orientasi ekspor dari industri dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Meskipun volatilitas masih membayangi pasar finansial Indonesia, Bahana menilai kondisi makro ekonomi nasional masih tetap positif dalam jangka panjang.

Hal ini tercermin dari penerimaan pajak di kuartal satu yang meningkat 16,21 persen dibandingkan kuartal satu tahun lalu. "Penerimaan pajak ini memberi efek positif bagi pertumbuhan ekonomi, terutama dapat mengurangi supply risk obligasi negara,” tambah Budi.

Kenaikan peringkat kredit Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2 dengan proyeksi stabil dari Moodys Investors Service juga menjadi payung positif bagi kestabilan ekonomi Indonesia, khususnya mengurangi risiko gagal bayar. 

Daya beli masyarakat pun mulai membaik, ditandai dengan penjualan sepeda motor pada  Maret yang naik hampir 22 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dari pertumbuhan M1 (uang beredar), berhubungan positif dengan penjualan kendaraan hingga kinerja IHSG.

"Untuk itu, kami berharap Pemerintah segera menyalurkan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya