Bahas Ekonomi RI, Menkeu Gelar Rapat Terbatas dengan BI dan OJK

Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan-pertemuan sebelumnya untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah, BI, dengan OJK.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Jul 2018, 14:27 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2018, 14:27 WIB
Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menggelar rapat koordinasi terbatas dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Agenda pertemuan untuk membahas mengenai kondisi perekonomian Indonesia terkini.

"Tadi diskusi biasa saja tukar-menukar mengenai permasalahan ekonomi terakhir, masalah stabilitas, masalah pertumbuhan," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Perry mengatakan, pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan-pertemuan sebelumnya untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah, BI dengan OJK. Dia mengatakan ketiganya kini tengah fokus kepada stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi.

"Inikan kelanjutan dari berbagai pertemuan sebelumnya bagaimana kita perlunya terus memperkuat koordinasi antara pemerintah BI dengan OJK. Berbagai koordinasi yang terus kita lakukan sebelumnya bagaimana mengatasi stabilitas, bukan hanya menjaga stabilitas dalam jangka pendek, tapi juga koordinasi untuk juga mendorong pertumbuhan," jelasnya.

Sementara itu, terkait nilai tukar rupiah yang masih bertengger pada angka Rp 14.400 per dolar AS. Dia meyakinkan bank sentral akan terus berada di pasar untuk melakukan sejumlah langkah intervensi.

"Kami pastikan bahwa Bank Indonesia ini terus berada di pasar melakukan langkah-langkah stabilitas di pasar valas untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah baik melalui intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN dari pasar sekunder," tandas Sri Mulyani.

 Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Tekan Gini Rasio Masih Jadi PR Besar Pemerintah Indonesia

Warga miskin
Kondisi pemukiman kumuh yang berada di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (2/2). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan pertumbuhan ekonomi pada 2017 sebesar 5,07 persen menjadi yang tertinggi sejak 2014.

Namun, di tengah terus meningkatnya pertumbuhan ekonomi ini masih banyak pekerjaan pemerintah yang juga harus dijadikan perhatian utama. Hal itu adalah penurunan angka gini rasio.

Ketua Dewan Direktur The Habibie Center Sofian, Effendi mengatakan dengan gini rasio yang masih 0,39 ini dirasa belum cukup baik untuk mencapai predikat pemerataan ekonomi.

"Dengan pertumbuhan seperti itu data yang dikeluarkan BPS September 2017 menunjukkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan pemerataan belum behasil kita ciptakan, terbukiti gini rasio masih 0,391, bahkan data Credit Swiss menunjukan 1 persen orang terkaya Indo menguasai 45 persen kekayaan nasional," kata dia dalam Seminar Nasional: Ekonomi Pasar Pancasila: Jalan Baru Ekonomi Indonesia di HOtel Le Meridiean, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Angka gini rasio ini sedikit melebar dalam beberapa tahun lalu karena ada comodity booming yang terjadi beberapa tahun lalu. Saat itu Indonesia lengah untuk membangun industri yang memiliki nilai tambah yang berorientasi ekspor.

Untuk itu, demi mengurangi angka gini rasio tersebut, percepatan pembangunan industri berorientasi ekspor yang memiliki nilai tambah wajib dilakukan pemerintah.

"Kita lambat karena bukan bertumpu pada sektor barang jadi. Sekarang ekonomi kita lebih banyak di-drive ekspor bahan mentah dan konsumsi sehingga industrialisitas dari segi itu kita mundur," ujar dia.

Tak kalah penting, peran pemerintah daerah harus lebih maksimal. Selama ini pemerintah pusat sudah cukup bagus dalam membuat kebijakan, tapi saat ini masih belum teraplikasikan semua di level daerah.

"Untuk itu ekonomi Pancasila itu ekonomi yang digerakkan harus saling menguntungkan dan menolak modal dikelola oleh segelintir orang saja," ujar dia. (Yas)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya