Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) tengah memutar otak untuk mengurangi beban perusahaan mengingat harga minyak dunia terus melambung dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tertekan.
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct Ronny P Sasmita berpendapat, salah satu surat persetujuan Menteri BUMN Rini M Soemarno mengenai rencana share down dan spin off di beberapa asetnya menandakan Pertamina butuh nafas baru dalam menghadapi tekanan itu.
Namun, menurut Ronny, share down aset tersebut sebenarnya hanya salah satu pilihan Pertamina dalam meringankan beban keuangannya. Di sisi lain, sebenarnya ada upaya lain yang bisa dilakukan Pertamina.
Advertisement
"Ketimbang harus melego beberapa asset strategis yang sudah ada, alangkah lebih baik bagi Pertamina untuk mempercepat realisasi kerjasama strategis yang sudah disepakati," ujar Ronny kepada Liputan6.com, Sabtu (28/7/2018).
Baca Juga
Sebagai contoh, PT Pertamina (Persero) dan perusahaan Migas asal Rusia, Rosneft Oil Company punya kesepakatan untuk membentuk perusahaan patungan yang akan membangun dan mengoperasikan kilang minyak baru yang terintegrasi dengan Kompleks Petrokimia (New Grass Root Refinery and Petrochemial/NGRR) di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.Â
Rencananya, pembangunan proyek tersebut menelan dana investasi mencapai USD 15 miliar. Kilang akan memiliki kapasitas 300 ribu barel per hari (bph) yang akan sangat  fungsional bagi Pertamina dan sangat produktif untuk menopang program strategis ketahanan energi nasional.
Pertamina melalui anak usahanya PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Rosneft Oil Company melalui afiliasinya Petrol Complex PTE LTD menandatangani akta pendirian perusahaan patungan bernama PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).Â
Ronny menuturkan, proyek tersebut jelas akan meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional dengan meningkatkan produksi bahan bakar minyak nasional yang berkualitas Euro V.Â
Di sisi lain, kilang juga akan menghasilkan produk baru petrokimia Apalagi, pembangunan megaproyek NGRR Tuban berpotensi menciptakan lapangan kerja, dengan perkiraan antara 20 ribu hingga 40 ribu tenaga kerja pada waktu proyek berjalan dan sekitar 2 ribu orang setelah beroperasi.
"Mumpung Putin (Presiden Rusia) mau ikutan IMF/World Bank di Bali, sebelumnya ada MoU yang belum bergeliat positif soal investasi Rusia sebesar USD 15 miliar, kenapa tidak disegerakan oleh Pertamina dan pemerintah," ujar dia. (Yas)
Â
Pertamina Cuma Cari Mitra Investasi, Bukan Jual Aset
Sebelumnya, surat persetujuan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno mengenai rencana bisnis PT Pertamina (Persero) mengundang banyak perhatian. Banyak pihak yang menafsirkan Pertamina akan menjual aset.
Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi menilai, aksi koorporasi yang dilakukan Pertamina guna memperkuat sisi keuangan perusahaan dalam bisnis minyak bumi dan gas (migas) merupakan hal yang wajar dan tepat.
Menurut Fahmy, dalam bisnis industri migas hal tersebut masuk dalam kategori spin off dan bukanlah bagian dari pelepasan apalagi penjualan asetnya kepada pihak lain (swasta).
"Yang harus dipahami itu adalah perbedaan antara privatisasi dan spin off. Kalau privatisasi kan melepaskan semua, menjual aset kepada pihak tertentu tanpa hak kepemilikan lagi. Apa yang dilakukan Pertamina itu spin off, mencari mitra investasi, wajar dalam bisnis migas," ujar Fahmy dalam keterangan tertulis, Sabtu 20 Juli 2018.
Fahmy mengatakan, dengan cara spin off yang dilakukan oleh Pertamina saat ini, maka akan berdampak dua hal positif terhadap BUMN migas tersebut.
Pertama, ucap Fahmy, akan ada dana segar yang diperoleh dari kerja sama dan kedua, memperkuat keuangan Pertamina ke depan untuk bisnis selanjutnya.
"Misalnya dengan spin off di Blok Mahakam, ada pengelolaan keuangan yang sehat dan stabil. Investasi masuk, dikelola bersama sehingga menguntungkan Pertamina. Atau juga tujuannya pembangunan kilang minyak, dari situ bisa bekerja sama sehingga dana Pertamina tidak tergerus dan mempertahankan pasokan BBM," ungkap Fahmy.
Fahmy menampik tudingan bahwa aksi koorporasi Pertamina disebabkan kerugian BUMN tersebut. Padahal, ujar Fahmy, hingga semester I tahun 2018 data keuangan Pertamina masih stabil dan menguntungkan.
"Jadi tidak ada anggapan karena rugi. Spin off adalah usaha biasa dalam bisnis migas. Jadi beda sekali privatisasi dan spin off," kata Fahmy.
Kendati demikian, Fahmy menyarankan agar pengawasan terhadap sistem bisnis spin off perlu diperketat. Jangan sampai justru tak mencapai tujuan keuangan seperti diharapkan Pertamina.
"Perlu pengawasan juga seperti jangan sampai penerimaan dari pengelolaan Blok Mahakam lebih kecil. Atau misalnya harga pembangunan kilang tidak sepadan sehingga BBM melonjak," kata Fahmy.
Fahmy berpendapat, persolan spin off yang dilakukan Pertamina akhirnya menjadi komoditas politik. Hal itu disebabkan kondisi tahun politik sekarang yang menyangkut apapun terkait pemerintahan kemudian diperbesar oleh pihak tertentu tanpa pemahaman.
Sebagai informasi, baru-baru ini beredar surat aksi koorporasi Pertamina yang disetujui Menteri BUMN Rini Soemarno. Aksi koorporasi tersebut dilakukan untuk mempertahankan dan menyelematkan keuangan perseroan.
Dalam surat itu tetap tercantum bahwa secara bisnis, Pertamina mengendalikan sepenuhnya aset strategis serta mencari mitra yang layak.Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement