Sri Mulyani Akan Kaji Efektivitas Aturan Dana Hasil Ekspor

Pemerintah akan terus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengoptimalkan langkah-langkah dalam rangka mendorong dana hasil ekspor dapat dibawa ke Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 14 Agu 2018, 14:15 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2018, 14:15 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengevaluasi penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26/PMK.010/2016, yakni insentif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga deposito dan tabungan, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari dana hasil ekspor (DHE) yang tersimpan dalam perbankan dalam negeri.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi sejauh mana para investor telah memanfaatkan pemberian insentif tersebut. Evaluasi akan dilakukan Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara.

"Saya sudah minta supaya kepada Pak Sua sama Pak Robert dalam menjelaskan terhadap PMK ini dan melakukan evaluasi kenapa itu tidak efektif dan kurang dipahami," ujar Sri Mulyani di Dhanapala, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Sri Mulyani mengatakan, efektivitas pelaksanaan baleid ini dibutuhkan dalam menyikapi kondisi ekonomi saat ini. Tujuannya agar ketersediaan dan permintaan mata uang dolar Amerika Serikat dapat seimbang.

"Karena tentu dalam situasi yang sekarang dan pemikiran pemikiran untuk membawa devisa hasil ekspor di dalam negeri dan di dalam konteks untuk menyeimbangkan antara kebutuhan demand dan supply-nya menjadi penting," jelas Sri Mulyani.

Dia menambahkan, pemerintah akan terus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengoptimalkan langkah-langkah dalam rangka mendorong dana hasil ekspor dapat dibawa ke Indonesia.

"Kita kerja sama dengan Bank Indonesia untuk berkomunikasi terus. Bagaimana langkah yang dilakukan di sisi fiskal termasuk pemberian insentif melakukan apa yang disebut enforcement dari sisi kepabeanan dan perpajakan kemudian akan berhubungan dengan yang dilakukan oleh Bank Indonesia," jelasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Alasan Pengusaha Enggan Konversi Devisa Hasil Ekspor ke Rupiah

Kinerja Ekspor dan Impor RI
Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tengah gencar merayu para pengusaha untuk mengonversikan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam rupiah.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Sutrisno mengungkapkan, insentif yang diberikan pada pengusaha harus menarik. Meski tidak menguntungkan, asal jangan sampai merugikan.

"Kita dirayu dong supaya tukar dolar Amerika Serikat ke rupiah. Bukan gratis, tetap bayar tapi caranya dipermudah, syaratnya, lalu ongkosnya jangan mahal-mahal," kata Benny dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (8/8/2018).

Benny menjelaskan, jika biaya konversi dipatok terlalu tinggi imbasnya perusahaan akan rugi. Pemerintah pun akan terkena dampak sebab pajak yang dibayarkan otomatis akan berkurang jika perusahaan tersebut merugi.

"Toh sama saja kalau kita bayar mahal lalu perusahaan rugi, nanti pemerintah tidak dapat pajaknya, sama saja. Ini hukum alam. Kalau bank diuntungkan, perusahaan dirugikan, pajaknya yang dibayarkan juga kecil," ujar dia.

Benny menyatakan, seharusnya hanya eksportir yang tidak banyak belanja impor bahan baku yang diwajibkan untuk konversi DHE ke rupiah.

Sebab, bagi eksportir yang masih harus melakukan impor kebijakan tersebut akan menyulitkan ketika eksportir membutuhkan mata uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk berbelanja ke luar negeri.

"Sebaiknya eksportir yang berbahan baku Sumber Daya Alam (SDA) yang dikasih Tuhan ke Republik kita mereka tinggal cangkul saja, harusnya diwajibkan (konversi). Kalau yang gunakan bahan baku impor, karena di sini bahan bakunya tidak ada, harusnya diringankan," ujar dia.

Benny mengungkapkan, saat ini biaya transaksi swap lindung nilai (hedging)  cukup tinggi yaitu 4 sampai 5 persen. Swap adalah transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian kurs (kurs bersifat tetap selama kontrak), sehingga dapat menghindari kerugian selisih kurs.

"Mending dipermudah dan dipermurah (swap-nya). Swap 5 persen masih mahal, 4 persen saja mahal gimana 5 persen. Mahal,"  ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya