Harga Minyak Naik Imbas Prospek Sanksi Iran

Harga minyak menguat didorong prospek sanksi terhadap Iran dan pelaku pasar hati-hati cermati negosiasi perdagangan AS-China.

oleh Agustina Melani diperbarui 22 Agu 2018, 05:30 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2018, 05:30 WIB
20151007-Ilustrasi Tambang Minyak
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak naik ke level tertinggi didorong prospek sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. Selain itu, perang dagang antara AS dan China mereda membuat analis dan pelaku pasar tetap hati-hati.

Harga minyak melanjutkan penguatan usai rilis data the American Petroleum Institute (API) menunjukkan stok minyak mentah AS turun 5,2 juta barel pada pekan lalu.

Harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober naik 42 sen menjadi USD 72,63 per barel. Sebelumnya harga minyak acuan tersebut mencapai posisi USD 72,95 per barel ke level tertinggi sejak 14 Agustus. Demikian mengutip laman Reuters, Rabu (22/8/2018).

Selain itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober naik 42 sen menjadi USD 65,84 per barel. Harga minyak untuk pengiriman September ditutup pada Selasa waktu setempat dan 92 sen lebih tinggi menjadi USD 67,35 per barel.

Harga minyak WTI pengiriman September ke pengiriman Oktober melebar sekitar USD 1,69 per barel. Sebelumnya menyempit sejak awal Agustus. 

Penguatan harga pengiriman September mengejutkan pelaku pasar. Hal ini mengingat persediaan naik ketika kilang mulai merencanakan kegiatan pemeliharaan.

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pelaku Pasar Cermati Negosiasi Perang Dagang AS-China

20151007-Ilustrasi Tambang Minyak
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Adapun harga minyak telah naik dalam dua sesi terakhir usai berminggu-minggu menurun. Sentimen itu dipicu prospek pasokan minyak lebih rendah dari Iran.

AS sedang berusaha hentikan ekspor minyak Iran dalam upaya memaksa Teheran untuk merundingkan perjanjian nuklir baru dan mengekang pengaruhnya di Timur Tengah. Namun, dampak penuh sanksi Iran tidak jelas.

Sementara itu, sebagian besar perusahaan energi Eropa cenderung sejalan dengan perusahaan AS. China mengindikasikan akan terus membeli minyak Iran.

BNP Paribas mengatakan pihaknya memperkirakan produksi minyak dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) turun dari rata-rata 32,1 juta barel per hari menjadi 31,7 juta pada 2019.

Namun, ekspor minyak dari Iran Selatan berada di jalur untuk capai rekor tertinggi pada Agustus. Hal tersebut menunjukkan tanda kalau produsen terbesar minyak kedua di OPEC ikuti kesepakatan kelompok untuk meningkatkan produksi.

Sedangkan pemerintahan AS menawarkan 11 juta barel minyak mentah dari cadangan minyak strategisnya untuk pengiriman 1 Oktober hingga 30 November. Minyak yang dilepas diharapkan dapat imbangi kekurangan pasokan yang diharapkan dari sanksi terhadap Iran.

Selain itu, pasar juga terus mengamati perselisihan perdagangan AS dan China. Perang dagang dapat mengancam pertumbuhan global. Delegasi China dijadwalkan bertemu di Washington pada pekan ini untuk selesaikan perselisihan itu.

Akan tetapi, Presiden AS Donald Trump mengatakan pihaknya tidak mengharapkan banyak kemajuan dan penyelesaian akan membutuhkan waktu.

"Fakta ada negosiasi awal yang mungkin pada akhirnya mencapai beberapa resolusi adalah hal positif," kata Rob Thummel, Manajer Portofolio Tortoise Capital.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya