Rupiah Merosot, Kemenperin Pastikan Industri Kecil dan Menengah Masih Kuat

Pemerintah memberikan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor akan membuat pelemahan rupiah tidak terlalu berdampak terhadap pendapatan IKM.

oleh Merdeka.com diperbarui 04 Sep 2018, 19:12 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2018, 19:12 WIB
Tingkatkan Volume KUR, OJK Bentuk Sistem Klaster untuk UKM
Perajin memproduksi sepatu di sebuah rumah industri di Jakarta, Selasa (6/3). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Menko Perekonomian untuk meningkatkan volume dan kualitas kredit usaha kecil dan menengah (UKM). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi tidak buat industri kecil menengah (IKM) gulung tikar.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih.

"Belum ada yang sampai collapse (gulung tikar). Makanya kita mau bikin kebijakan menahan impor, terutama konsumsi," ujar Gati saat ditemui di KAUM, Jakarta, Selasa (4/9/2018).

Meski demikian, Gati tidak menampik pelemahan rupiah berdampak pada pendapatan sektor IKM yang menggunakan bahan impor. Namun, memasarkan produknya di dalam negeri. Sebaliknya, bagi industri yang memakai bahan baku impor untuk produk ekspor hal ini justru tidak terlalu terpengaruh.

"Bahan baku impor masih banyak yang digunakan IKM. IKM yang masih pakai bahan baku impor, itu pasarnya dalam negeri pasarnya pasti terpengaruh. Tetapi, IKM yang menggunakan bahan baku impor untuk ekspor, tidak," ujar dia.

Untuk industri berbahan baku impor namun berorientasi ekspor, pemerintah telah memberikan fasilitas KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Jika industri menggunakan fasilitas ini, pelemahan rupiah tidak akan berdampak besar pada pendapatan dan operasional.

"Kenapa? Karena kami punya program kerja sama dengan Bea Cukai yang namanya KITE. Di mana kalau dia impor bahan baku bea masuk nol. Enggak jadi masalah dolar naik, kenapa? Karena buat ekspor produknya," ujar dia.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini dibuka di angka 14.822 per USD. Angka ini melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang berada di angka Rp 14.815 per USD. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah 9,04 persen.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Menko Darmin: Jangan Bandingkan Rupiah Saat Ini dengan Krismon 1998

Paparkan RAPBN 2019, Menteri Kabinet Kerja Kompak Duduk Bersama
Menko Perekonomian Darmin Nasution bersama sejumlah menteri memberi keterangan pers RAPBN 2019 di Media Center Asian Games, JCC Jakarta, Kamis (16/8). Pada konpers tersebut nilai Rupiah dipatok Rp 14.400/US dalam RAPBN 2019. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.

Darmin mengatakan, meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Gini deh, jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Pada 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 September 2018.

Dia mengaku heran dengan pihak-pihak tertentu yang selalu membanding-bandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis.

"Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu tembus angka terendah 1998-1999. Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," kata dia.

Darmin menyatakan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada 1998. Meski saat ini salah satu kelemahan yang dialami Indonesia, yaitu soal transaksi berjalan yang defisit.

"Kita fundamental ekonomi masih oke. Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, yaitu 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina, itu-lah. Betul, kita lebih kecil. Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita 5 koma persen," jelas dia.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari sisi mana pun, kata dia, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan 1998.

"Dilihat dari sudut mana pun. Meski pun kita ada defisit transaksi berjalan, ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini defisit. Memang ini agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya