Menko Darmin: Jangan Bandingkan Rupiah Saat Ini dengan Krismon 1998

Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

oleh Septian Deny diperbarui 04 Sep 2018, 13:23 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2018, 13:23 WIB
Rupiah Melemah
Petugas menunjukkan uang kertas rupiah di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.

Darmin mengatakan, meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Gini deh, jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Pada 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/9/2018).

Dia mengaku heran dengan pihak-pihak tertentu yang selalu membanding-bandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis.

"Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu tembus angka terendah 1998-1999. Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," kata dia.

Darmin menyatakan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada 1998. Meski saat ini salah satu kelemahan yang dialami Indonesia, yaitu soal transaksi berjalan yang defisit.

"Kita fundamental ekonomi masih oke. Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, yaitu 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina, itu-lah. Betul, kita lebih kecil. Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita 5 koma persen," jelas dia.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari sisi mana pun, kata dia, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan 1998.

"Dilihat dari sudut mana pun. Meski pun kita ada defisit transaksi berjalan, ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini defisit. Memang ini agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tandas dia.

Terseret Lira dan Peso, Rupiah Terus Melemah ke 14.845 per Dolar AS

Rupiah Tembus 13.820 per Dolar AS
Teller menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Jumat (20/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan pada perdagangan Senin pekan ini. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah lebih dari 9 persen.

Mengutip Bloomberg, Selasa (4/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.822 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang berada di angka 14.815 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.780 hingga 14.845 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah 9,04 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.840 per dolar AS, melemah tinggi jika dibandingkan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.767 per dolar AS.

Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, rupiah merosot ke level terendah terhadap dolar sejak krisis keuangan Asia 1998 di tengah ketegangan dagang yang memburuk.

"Aksi jual lira Turki dan peso Argentina juga sangat berperan pada depresiasi drastis rupiah," dia menjelaskan.

Gejolak di Turki dan Argentina memicu ketidakpastian, sehingga mata uang pasar berkembang dapat semakin melemah.

Walaupun Bank Indonesia menyatakan telah mengintervensi pasar valuta asing (valas) dan pasar obligasi, tekanan eksternal dalam bentuk ekspektasi kenaikan suku bunga AS dapat terus memperburuk situasi bagi rupiah.

BI mungkin terpaksa menaikkan suku bunga lagi guna berusaha menanggulangi depresiasi rupiah. "Kenaikan suku bunga mungkin dapat membantu rupiah, tapi juga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata dia.

 

Tonton Video Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya