Liputan6.com, Jakarta DPR bersama pemerintah diwakili Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelar rapat paripurna di Gedung DPR,hari ini, Selasa (4/9/2018). Agenda rapat kali ini adalah penyampaian tanggapan pemerintah terhadap pandangan umum fraksi atas RUU APBN 2019 dan nota keuangan.
Rapat yang dimulai sejak pukul 11.01 WIBÂ itu langsung diawali interupsi beberapa anggota fraksi yang menanyakan perihal kondisi rupiah yang saat ini tengah terdepresiasi.
Anggota fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, mengkritik pemerintah yang selalu mengatakan bahwa kondisi ekonomi baik-baik saja, meski rupiah hampir mendekati level 15.000 per dolar AS.
Advertisement
Baca Juga
Padahal, menurutnya, kondisi tersebut sudah mengkhawatirkan terlebih saat ini impor pangan cukup tinggi. Seperti komoditas kedelai, jagung, gula, hingga beras.
"Hampir seluruh komoditas kita impor dan ini menurut saya terlalu memprihatikan dan selalu Pak Presiden menyampaikan kurs dolar terjadi menguat di beberapa negara. Memang benar, tapi kondisi di Indonesia yang terparah," kata Bambang di Gedung DPR RI, Selasa (4/9/2018).
Dia meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Di kehidupan masyarakat ini sangat memberatkan dan tolong Menkeu (Sri Mulyani) sampaikan kepada Presiden (Jokowi) agar impor dikurangin bukan malah ditambah," ujar dia.
Senada, Michael Wattimena, anggota fraksi partai Demokrat menyampaikan pemikirannya mengenai kondisi rupiah saat ini.
Dia menjelaskan, Indonesia punya sejarah pahit mengenai krisis moneter, yaitu yang terjadi 20 tahun silam, tepatnya pada 1998.
"Indonesia ini adalah negara yang besar, kita punya pengalaman yang pahit pada tahun 1998, di mana Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi," ujarnya.
Dia menegaskan, hal tersebut jangan sampai terulang kembali. Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah segera melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Sebab, saat ini rupiah sudah mulai merangkak ke level 14.500.
"Kami sangat mencintai Indonesia dan memiliki pengalaman pahit di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi," ujarnya.
Dia meminta pemerintah jujur dan terbuka mengenai kondisi ekonomi saat ini di mana kondisi ekonomi global yang bergejolak selalu dituding menjadi penyebab Rupiah terdepresiasi.
Padahal, kata dia, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden pada 16 Agustus 2018 terkait RAPBN 2019, rupiah diasumsikan 14.400.
"Nilai tukar yang diasumsikan meningkat. Jadi kondisi ini, tolong Menkeu jelaskan secara jujur keadaan ekonomi saat ini. Sebab kita tidak ingin dalam situasi 1998 yang mengalami krisis ekonomi."
"Nota keuangan saja yang disampaikan oleh Presiden, rupiah berada pada mendekati 14.800 padahal hari ini sudah ingin mencapai 14.900, untuk itu saat ibu menjelaskan kami mohon ibu menjelaskan secara jujur. Saya pikir janganlah kita kaitkan masalah-masalah ini dengan negara lain yang tidak ada kaitannya," dia menandaskan.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Dibanding Lira dan Peso, Rupiah Jauh Lebih Kuat dari Gempuran Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan dalam beberapa pekan terakhir. Namun, pelemahan rupiah ini tidak terlalu dalam jika dibandingkan mata uang di beberapa negara lain.
Dikutip dari data Reuters, dari awal tahun hingga Akhir Agustus atau year to date, rupiah hanya melemah 8,4 persen. Angka tersebut lebih kecil jka dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Untuk periode yang sama, rupe India mengalami 10,4 persen dan Rubel Rusia tertekan hingga 15,1 persen. Tak hanya negara tersebut, mata uang rand Afrika Selatan melemah hingga 16,7 persen.
Adapun untuk mata uang real Brasil mengalami tekanan yang cukup dalam mencapai 20,4 persen. Untuk Lira Turki pelemahannya hingga 42,9 persen dan peso Argentina mencapai 51,1 persen.
Khusus sepanjang Agustus 2018, rupiah hanya melemah 1,6 persen. Jauh di bawah peso yang tercatat 26 persen dan lira yang mencapai 25 persen.
Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah ini bukan karena faktor dari dalam negeri, tetapi lebih terserah karena faktor eksternal.
"Aksi jual lira Turki dan peso Argentina sangat berperan pada depresiasi drastis rupiah," jelas dia.
Saat ini memang Turki dan Argentina tengah masih dalam fase ketidakpastian ekonomi. Hal tersebut membuat investor melepas aset-aset beresiko seperti mata uang di negara berkembang termasuk rupiah.
Namun memang, pelemahan rupiah tidak terlalu besar karena kondisi ekonomi makro cukup stabil. Bahkan BI sebelummnya telah melakukan aksi antisipasi dengan menaikkan suku bunga acuan selama beberapa kali.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan bahwa seharusnya pelemahan rupiah ini tidak perlu ditakutkan karena stabilitas ekonomi dan keuangan bisa terjaga dengan baik.
"Likuiditas terjaga baik, non-performing loan (NPL) di perbankan Indonesia bahkan menurun dibandingkan 2015 dari 3,2 persen menjadi 2,7 persen." kata Mirza.
Advertisement