Bukan 2018, Pemerintah Harus Antisipasi Krisis 2030

Krisis 2030 dapat dicegah dengan peningkatan produktivitas aset warga negara.

oleh Arthur Gideon diperbarui 11 Sep 2018, 08:30 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2018, 08:30 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas melayani nasabah di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah tengah menghadapi cobaan berat. Krisis mata uang Lira Turki, Argentina, Brazil dan Afrika Selatan memberikan sentimen negatif di tengah dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat karena ekonomi AS yang tumbuh tinggi.

Di sisi lain, Indonesia juga mengalami defisit neraca berjalan dampak dari tingginya impor yang tidak dapat diimbangi kenaikan ekspor. Hal ini memunculkan lagi isu Indonesia sebagai bagian dari fragile five, negara rentan jatuh ke dalam krisis bersama dengan Turki, Brazil, India dan Afrika Selatan.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat menyatakan, defisit transaksi berjalan dan penguatan dolar AS yang signifikan merupakan dua pra-kondisi fundamental yang melandasi krisis moneter 1998.

Namun, Budi meyakini perkembangan saat ini tak mengarah ke krisis ekonomi destruktif, seperti yang terjadi pada krisis moneter 1998.

Krisis 1998, menurut Budi, bermula dari krisis mata uang, dimana rupiah melemah secara tajam dan menjalar jadi krisis perbankan. Lumpuhnya fungsi intermediasi keuangan, tak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, juga memicu kehancuran aset keuangan yang menjadi penopang kemakmuran bangsa.

Krisis nilai tukar rupiah saat itu dilandasi oleh rupiah overvalued yang dipertahankan melalui sistem nilai tukar tetap (fix exchange rate) atau dikendalikan pemerintah dan tak sejalan dengan tren penguatan dolar AS. Hal ini memicu aksi sektor korporasi dan perbankan untuk mengakumulasi utang luar negeri.

Saat itu, Indonesia belum ada tata kelola utang negara khususnya luar negeri, dan penguatan sistem administrasi untuk pemungutan pajak. Apalagi mobilisasi pembiayaan bisnis dalam negeri non-perbankan melalui pasar modal juga terbatas.

Kredit perbankan juga tinggi akibat lemahnya pengawasan perbankan. Kekeliruan perbankan dan berbahaya ketika itu adalah berutang valas jangka pendek untuk membiayai proyek investasi rupiah jangka panjang.

Saat nilai tukar rupiah melemah mengikuti mata uang regional, kondisi keuangan perusahaan dan perbankan memburuk drastis. Beban utang naik dan nilai aset turun.

“Perbankan saat itu ibarat peribahasa nothing right in the left and nothing left in the right. Sebelah kiri jadi aset bodong. Sebelah kanan deposan menarik dana. Akibatnya, modal tergerus dan harus dibenahi melalui kebijakan rekapitalisasi perbankan yang sangat mahal biayanya,“ jelas Budi dalam keterangan tertulis, Selasa (11/9/2018).

Sekarang kondisinya berbeda. Perbankan jauh lebih baik dengan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang melebihi standar internasional.

Negara sudah memiliki manajemen berutang yang lebih transparan dan cermat, defisit maksimal 3 persen dari PDB.

Sistem nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate) yang menyadarkan perusahaan akan bahaya risiko kurs mata uang bila berutang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

New Normal Picu Risiko Refinancing

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Pelemahan mata uang negara berkembang terhadap dolar AS, termasuk rupiah dilatari oleh keluarnya aliran modal asing (capital outflow) yang selama ini sangat dibutuhkan untuk membiayai defisit neraca berjalan (refinancing risk).

Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga negara-negara maju dan pengetatan likuiditas oleh bank sentral Amerika The Federal Reserve (The Fed), seiring dengan membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Berakhirnya suku bunga rendah adalah kenyataan “new normal” yang harus dihadapi.

Akan tetapi, likuiditas global masih tetap melimpah. Hal ini terlihat dari yield atau imbal hasil obligasi di sejumlah negara maju yang rendah. Misalnya, obligasi 10 tahun di Jepang sebesar 0,14 persen dan Jerman 0,4 persen.

Sementara, negara berkembang harus menaikkan yield obligasi dan membayar lebih mahal untuk membiayai defisit neraca berjalan.

 

Antisipasi Krisis 2030

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Direktur Utama Bahana TCW Investment Management Edward Lubis mengapresiasi berbagai langkah pemerintah untuk menstabilkan rupiah agar momentum pertumbuhan ekonomi terus berlanjut.

“Langkah yang cepat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi menjadi suatu krusial untuk mencegah risiko krisis pada tahun 2030, dimana ada ketakutan risiko krisis akibat growing old before growing rich pada tahun 2030 sesuai Laporan Bank Dunia tahun 2014,” ujar Edward.

Upaya pemerintah harus dilengkapi dengan peningkatan kecakapan finansial yang menjadi semacam sufficient condition agar memiliki kecukupan pembiayaan di masa tua.

Perbaikan defisit transaksi berjalan memang tepat untuk pengendalian rupiah melalui produktivitas sektor riil. Krisis 2030 dapat dicegah dengan peningkatan produktivitas aset warga negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya