Utang BUMN Tembus Rp 5.217 Triliun per September 2018

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III 2018.

oleh Merdeka.com diperbarui 03 Des 2018, 19:46 WIB
Diterbitkan 03 Des 2018, 19:46 WIB
Persiapan Uang Tunai Bi
Petugas melakukan pengepakan lembaran uang rupiah di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (21/12). Bank Indonesia (BI) mempersiapkan Rp 193,9 triliun untuk memenuhi permintaan uang masyarakat jelang periode Natal dan Tahun Baru. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III 2018. Utang ini naik drastis jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2016 sebesar Rp 2.263 triliun. 

Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro mengatakan, bersamaan dengan pertumbuhan utang, aset BUMN juga tumbuh menjadi Rp 7.718 triliun per September 2018. 

"Neraca BUMN pertumbuhan aset 3 tahun terakhir Rp 6.524 meningkat jadi Rp 7.200 lagi, jadi Rp 7.718 triliun. Bagaimana utang awalnya Rp 2.263 jadi Rp 4.830 (triliun-red) dan kemudian kuartal-III akhir September 2018 utang BUMN meningkat level Rp 5.271 triliun," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/12/2018).

Aloysius menjelaskan, utang sebesar Rp 5.271 didominasi oleh utang perbankan dengan catatan Rp 3.300 triliun yang didominasi oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 74 persen. Kemudian, sektor non perbankan mencatat utang sebesar Tp 1.960 triliun. 

"Sektor non keuangan total utang per September Rp 1.960 triliun. Paling banyak didominasi sektor migas Rp 522 triliun dan kelistrikan Rp 543 triliun. Selebihnya BUMN memainkan peran penting di infrastruktur sehingga ini disertai utang BUMN konstruksi," ujar dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Jaga Rupiah Menguat, Pemerintah Diminta Awasi Jumlah Surat Utang Luar Negeri

Persiapan Uang Tunai Bi
Petugas mengecek lembaran uang rupiah di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (21/12). Guna memenuhi kebutuhan uang tunai selama perayaan Natal dan Tahun Baru 2018, Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang kartal sebanyak Rp 193,9 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, nilai tukar atau kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa waktu terakhir terus menguat. Namun, pemerintah diingatkan untuk tetap berhati-hati.

Peneliti Center on Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi jika nilai tukar (kurs) mata uang Garuda bisa kembali melemah akibat kencangnya aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri.

"Namun demikian, penguatan rupiah rentan dan sewaktu-waktu bisa kembali melemah. Aliran modal asing dalam bentuk portofolio atau lebih sering disebut sebagai hot money sangat rentan terhadap isu global dan domestik," ujar dia kepada Liputan6.com.

Dia menambahkan, rupiah dapat kembali terjungkal jika terjadi pembalikan secara tiba-tiba (sudden revearsal). "Pembalikan secara tiba-tiba bisa terjadi sewaktu-waktu dan bila itu terjadi rupiah akan kembali terpuruk," sebut dia.

Sebagai langkah antisipatif agar nilai tukar rupiah bisa terus terjaga, dia menegaskan, pemerintah dinilainya perlu membatasi jumlah surat Utang Luar Negeri (ULN) di dalam pasar modal Indonesia.

"Kita harus perbaiki struktur pembiayaan di neraca pembayaran. Dominasi ULN dan kepemilikan asing di surat-surat berharga di pasar uang dan pasar modal harus dikurangi. Setidaknya harus berani melakukan capital flows management," imbuh dia.

Piter Abdullah memprediksi, nilai tukar rupiah bisa tetap bertahan di angka 14.300 per dolar AS lantaran adanya berbagai faktor, seperti isu Bank Sentral AS The Fed yang akan menunda kenaikan suku bunga acuan pada Desember 2018 nanti.

"Kita ketahui bahwa seiring meningkatnya intensitas perang dagang AS vs China, pertumbuhan ekonomi AS justru mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan direspons oleh The Fed dengan menunda kenaikan suku bunga," ungkap dia.

Dia menambahkan, perkiraan tersebut semakin diperkuat dengan adanya sinyal dari Gubernur The Fed dalam waktu dekat ini, untuk tidak menaikkan suku bunga acuan para Desember mendatang.

"Perlambatan pertumbuhan AS ditambah penundaan suku bunga The Fed membuat para investor global mulai mengalihkan dana investasinya ke negara-negara yang dianggap memiliki prospek keuntungan terbesar ke depan," sambungnya.

Dengan adanya isu tersebut ditambah harga minyak dunia yang kini sedang menurun, ia melanjutkan, momentum ini bisa jadi kesempatan bagi rupiah untuk melanjutkan penguatannya. Sehingga, kurs mata uang Garuda bisa terjaga di kisaran 14.300-14.500 pada akhir 2018 sampai awal 2019.

"The Fed memberikan sinyal tidak akan menaikkan suku bunga. Ini kesempatan rupiah untuk mempertahankan penguatannya. Juga ada momentum penurunan harga minyak," ucap dia.

"Saya kira, rupiah di akhir tahun dan awal 2019 nanti bisa dipertahankan di kisaran 14.300 sampai dengan 14.500," pungkas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya