Liputan6.com, Batam - Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Kepulauan Riau (Kepri) khawatir terhadap mahalnya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik.
Kondisi ini dinilai berbanding terbalik dengan rencana pemerintah meningkatkan kunjungan wisatawan domestik.
Ketua DPD Asita Kepri, Andika Lim mengatakan, mahalnya harga tiket pesawat rute domestik ketimbang tujuan luar negeri antara lain Singapura, Malaysia, Thailand dan negara ASEAN lain dapat berdampak terhadap kunjungan wisatawan domestik ke luar negeri.
Advertisement
Wisatawan domestik akan mempertimbangkan kunjungan ke luar negeri ketimbang daerah di Indonesia. Apalagi ada rasa kebanggaan bisa bepergian ke luar negeri.
Baca Juga
"Bagaimana program Pemerintah meningkatkan wisatawan domestik dapat tercapai. Jika kebijakan airline tidak dikendalikan, " ujar Andika di Batam Centre, seperti ditulis Sabtu (12/1/2019).
Oleh karena itu, menurut dia maskapai punya peran penting untuk mendukung program pemerintah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan domestik.
Apalagi ada maskapai low cost carrier atau maskapai berbiaya murah yang dapat berkontribusi untuk meningkatkan jumlah wisatawan domestik dengan sediakan tiket murah. Ia mengharapkan maskapai dapat mempertimbangkan kembali untuk harga tiket pesawat.
"Kami berharap pihak airline mempertimbangkan kembali. Kalau itu LCC, harus harga low cost carrier, untuk sekarang itu kurang fair untuk penumpang," kata Andika.
Hal yang terjadi sekarang, justru kontra produktif dengan agenda besar Kementerian Pariwisata (Kemenpar).
Dorongan bagi tiap-tiap daerah untuk menghadirkan penerbangan murah untuk wisatawan tidak terlihat nyata. Sebagai perbandingan, untuk penerbangan Batam-Jakarta dengan jadwal penerbangan pada 15 Januari 2019, berada di atas Rp 1 juta.
Sementara penerbangan dari Batam-Kuala Lumpur, Malaysia, di hari yang sama justru lebih murah, tepatnya Rp 767 ribu.
Andika mengatakan, harga tiket pesawat mahal pada Januari 2019 itu dapat ganggu target Kemenpar untuk menghadirkan 20 juta wisatawan mancanegara (Wisman) dan lebih banyak lagi mobilitas wisatawan domestik di berbagai daerah.
"Memang untuk wisatawan mancanegara ke Batam tidak karena kebanyakan mereka menggunakan Jalur laut, " ujar Andika.
Kebijakan Bagasi Berbayar
Tak hanya itu, Asita juga menyoroti soal kebijakan bagasi berbayar oleh sejumlah maskapai. Salah satunya Lion Air.
Penerapan bagasi berbayar itu dampaknya sudah terasa bagi pengusaha terutama terhadap pelaku industri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Batam dan Kepulauan Riau.
Gerai oleh-oleh yang ada di Batam sudah mengalami penurunan omzet secara signifikan. Salah satunya, toko oleh-oleh khas Batam Nayadam yang mengalami penurunan omzet dari semula berkisar antara Rp 5 juta pada akhir pekan, mengalami penurunan hingga hanya Rp 2 juta.
"Biasanya gerai kita di bandara (Bandara Internasional Hang Nadim, Batam) tiap Jumat sampai Minggu selalu ramai, baru ada ramai bahas soal bagasi langsung turun omzet kita," kata Manajer Operasional Nayadam, Syarif.
Kondisi ini saat ini bukan hanya dirasakan Nayadam, pelaku usaha oleh-oleh lain di Batam juga mengeluhkan hal serupa. Para pelaku usaha yang biasanya bisa mendapatkan keuntungan dari rombongan yang membeli dalam jumlah banyak, kini tidak lagi banyak lagi didapat.
Ia berharap pemerintah berperan untuk menjaga stabilitas dan berjalannya rantai transaksi usaha pelaku UMKM.
Jika tidak, kesulitan yang sudah dirasakan sejak ada biaya bagasi ini akan menjadi hambatan serius bagi perkembangan industri kecil "Harus ada ketegasan pemerintah, kami ingin kebijakan tersebut tidak dijalankan," pungkas Syarif .
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement