Langkah Tegas Pemerintah Lawan Diskriminasi Kelapa Sawit di Eropa

Pemerintah akan bergerak cepat melakukan penolakan tegas terhadap aturan Eropa.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Mar 2019, 20:05 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2019, 20:05 WIB
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menentang keras keberadaan European Union's Delegated Regulation yang di dalamnya memuat diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) sebagai salah satu bio fuel atau bio diesel.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan Komisi Eropa telah mengadopsi Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada tanggal 13 Maret 2019.

Dokumen ini akan diserahkan ke European Parliament dan Council untuk melalui tahap scrutinize document dalam kurun waktu 2 bulan ke depan.

Oleh karena itu, dia menyatakan pemerintah akan bergerak cepat melakukan penolakan tegas terhadap aturan tersebut. Sebab jika aturan tersebut diberlakukan maka Uni Eropa (UE) pada akhirnya memiliki landasan hukum untuk menjalankan diskriminasi serta merugikan negara-negara penghasil [kelapa sawit.]( 3906214 "")

"Kami melihat bahwa langkah - langkah yang diambil oleh Uni Eropa (UE) itu melalui tahap komisi perlu ditanggapi karena akan selain substansinya juga prosesnya tinggal menunggu waktu tidak lama akan dibahas di parlemen," kata Menko Darmin di kantornya, Senin (18/3).

Meski proses penyerahan dokumen disebutkan dalam kurun waktu 2 bulan, namun Menko Darmin menegaskan pemerintah akan bergerak cepat. Sebab bisa saja proses tersebut lebih cepat dari waktu tersebut.

"Tadinya jadwal setelah selesai di komisi Eropa disampaikan ke parlemen UE itu tadinya rencananya paling lambat 2 bulan, baru akan diambil keputusan, Tapi ternyata dia bisa lebih cepat dari itu, paling lambat 2 bulan ya 2 minggu bisa juga sih," ujarnya.

Dia menegaskan hal itu sebagai sinyal awal UE untuk menyerang kelapa sawit. Sehingga pemerintah harus segara menyampaikan sikap tegas penolakan terhadap apa yang sudah dihasilkan melalui komisi Eropa. Sebab dalam aturan tersebut disebutkan bahwa CPO termasuk golongan "high risk" atau memiliki risiko yang tinggi.

"Yang kita pertama -tama melihat ini betul-betul langkah yang sistematis dengan bahan yang dalam tanda kutip ilmiah, tetapi kalau dilihat ilmiahnya, itu sebetulnya dari awal sudah dirancang untuk mengatakan bahwa CPO itu berisiko tinggi dan kalau dia beriisko tinggi maka tentu saja dia akan banyak hal nanti," ujarnya.

Menko Darmin menegaskan, kajian yang mereka lakukan tidak bersifat komprehensif dan transparan. Sumber energi nabati lainnya seperti rapeseed oil dan soyabean oil disebutkan lebih baik dibanding CPO. "Ini kan namanya tindakan diskriminatif," dia menambahkan.

Dia menegaskan pemerintah dengan negara lain sesama penghasil kelapa sawit denga tegas menolak hal tersebut. Bahkan akan menuntut adanya uji ilmiah yang komprehensif. "Jadi pemerintah menolak apa yang sedang mau dilegalkan melalui delegated itu karena itu adalah menurut kita adalah tindakan yang diskriminatif. Kalau mau diuji ya mari kita uji ya," tegasnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Pemerintah Sampaikan Keberatan Diskriminasi Kelapa Sawit oleh Uni Eropa

Pemerintah terus melakukan langkah perlawanan terhadap diskriminasi kelapa sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan, pemerintah akan menyampaikan 10 poin tanggapan perlawanan terhadap langkah diskriminatif Uni Eropa kepada komoditas sawit nasional agar komoditas ini mendapatkan perlakuan yang setara di pasar komoditas UE. 

"Pemerintah menyampaikan keberatan atas keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi draft Delegated Regulation yang mengklasifikasukan minyak kelapa sawit sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan berisiko tinggi," kata Darmin saat memimpin Rapat Koordinasi Pembahasan Tentang European Union's Delegated Regulation, di kantornya, Senin (18/3/2019).

Dia menuturkan, langkah ini menjadi tindak lanjut kesepakatan dari enam Ministerial Meeting Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang diselenggarakan pada 28 Februari 2019 lalu.

Saat itu, tiga negara produsen terbesar minyak sawit dunia yaitu Indonesia, MaIaysia dan Kolombia menyepakati untuk memberikan menanggapi langkah-langkah disknminatlf yang muncul dari rancangan peraturan Komisi Eropa, yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive II.

"Hal ini sebagai kompromi politis di internal UE yang bertujuan untuk mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel UE yang menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh UE," ujarnya.

Adapun saat ini, Komisi Eropa telah mengadopsi Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada tanggal 13 Maret 2019. Dokumen ini akan diserahkan ke European Parliament dan Council untuk melalui tahap scrutinize document dalam kurun waktu dua bulan ke depan. 

"Karena ini tindakan diskriminatif, kita juga akan membawa ke WTO. Apakah langkah ini fair atau hanya protectionism terhadap nabati oil mereka yang sebenarnya dilindungi dengan berbagai macam tudingan dan tuduhan," kata dia.

Dalam 10 poin yang akan disampaikan tersebut di antaranya memuat keberatan terhadap diskrimantif serta memaparkan langkah-langkah pemerintah yang telah dilakukan selama ini berada dalam koridor yang tepat dalam mengatur kelapa sawit.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya