Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan untuk segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada September 2019 mendatang. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki Undang-Undang Pokok Agraria yang dibuat pada 1990 tahun lalu.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil menegaskan, RUU yang baru saat ini sangat mendesak karena UU lama dianggap sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Sehingga ada beberapa hal yang belum diatur di dalam UU lama.
Advertisement
Baca Juga
"Poin pentingnya itu masalah pertanahan yang selama ini tidak kita atur, kita atur. Sehingga banyak sekali hal karena perkembangan zaman yang belum tercover," kata dia saat ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, (27/8).
Menteri Sofyan menyampaikan, dalam RUU yang baru nantinya ada beberapa poin yang akan perbarui. Salah satunya adalah seluruh informasi mengenai pertanahan dan kawasan akan dibuat secara terpadu. Ini dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui mana yang dianggap haknya serta izin dari pertanahan itu sendiri.
"Tapi begitu undang-undang ini tentu ada kaitan dengan Kementerian Lembaga yang lain. Untuk itu kita memperkenankan dengan sistem informasi tanah dan kawasan terpadu," jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dapat segera diselesaikan sebelum masa jabatan pemerintahan ini berakhir. RUU ini menjadi penting untuk membenahi segala bidang persoalan tanah yang ada.
Wapres JK mengatakan, RUU ini nantinya akan menggantikan posisi Undang-Undang Pokok Agraria yang dibuat pada 1990 tahun lalu. Sebab, UU yang lama sudah tidak relevan di tengah perkembangan zaman saat ini.
"Kita berusaha (disahkan dalam periode ini) Karena ini, jangan lupa, Undang-Undang inisiatif DPR. Itu sejak tiga tahun lalu," kata Wapres JK di Kantornya, Jakarta, Selasa (20/8).
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
REI Minta DPR Segera Sahkan RUU Pertanahan
Real Estate Indonesia (REI) meminta agar DPR bisa mengesahkan RUU Pertanahan pada September mendatang dan tidak diundur. REI mendukung RUU ini sebab sektor mereka butuh kepastian hukum demi pengembangan usaha.
Pandangan REI berbeda dari sebagian kalangan yang meminta agar pengesahan RUU ini diundur. Jika pengesahan diundur hingga ada anggota DPR baru, REI khawatir persoalan pertanahan tak kunjung selesai, apalagi mengingat aturan yang ada sudah berusia lebih dari setengah abad.
"Jangan diundur lagi dari September. Begitu DPR baru, Komisi II baru, mulai lagi dari nol," ujar Sekjen DPP REI Paulus Totok Lusida pada Jumat (12/7/2019) di Jakarta.
Dalam RUU Pertanahan ini, REI memberi usulan seperti batas waktu kepemilikan tanah orang asing, isu definisi tanah terlantar, sengketa tanah, hingga hak waris tanah. Ia menilai isu-isu itu butuh kepastian hukum agar tak menghambat pengembang.
Mengenai detail seperti luas-luas yang harus diatur, REI menyarankan agar itu diatur di Peraturan Menteri (Permen). Itu dimaksudkan agar ke depannya angka itu bisa disesuaikan seiring berubahnya waktu, sementara jika masuk UU itu butuh waktu lebih lama untuk diubah.
"Target September itu sudah disahkan, kalau ada sesuatu yang kurang detail, teknis itu bisa dilaksanakan di PP dan Permen. Kalau Peraturan Menteri itu kan bisa sewaktu-waktu disesuaikan," jelas Totok.
Walau ada pro dan kontra mengenai detail RUU Pertahanan, REI mendorong segera selesai karena ada kebutuhan dari dunia usaha. Bila RUU ini sah, ia memprediksi sektor real estate bisa naik 10 persen.
"Memang ada sedikit tanggapan yang bertentangan, tapi UU Pertanahan ini dari segi pengusaha dibutuhkan karena menyangkut hajat hidup seseorang. Selama masih di atas bumi menginjak tanah, butuh UU tanah untuk kepastian hukum," ujarnya.
Advertisement
Menteri Sofyan Terus Kebut Penyelesaian RUU Pertanahan
Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus memproses rancangan undang undang (RUU) pertanahan yang baru. Ini dilakukan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 yang dianggap sudah jauh tertinggal.
"Sekarang perkembangan sudah luar biasa, maka kita merasakan ada beberapa hal perlu kita perbaiki, perlu kita buat konsep konsep baru. Hak di bawah tanah, hak di atas tanah, Kemudian beberapa isu yang dianggap penting," kata Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Senin 10 Desember 2018.
Sofyan Djalil mengatakan, sejauh ini progres RUU sudah masuk dalam pembicaraan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun dari 928 butir poin, baru sekitar 300-an yang sudah dibahas pihaknya bersama DPR.
"Pembicaraan terus jalan, tapi kan kita tidak bisa menentukan ini kan. Anggota dewan banyak yang sibuk, kita juga sibuk akhir tahun. Tapi kan panjang, dan kita sudah bahas secara bersama. Sampai sekarang yang sudah dibahas 300-an," jelas dia.
Meski begitu, Sofyan optimis RUU ini akan selesai sebelum masa Pemerintahan Jokowi-JK berakhir. "Insya Allah sebelum habisnya parlemen ini selesai (sudah jadi)," imbuh dia.
Sebelimnya, Sofyan Djalil mengatakan, pihaknya menargetkan beleid tersebut dapat diterbitkan pada April tahun depan. Sebab langkah komisi II DPR RI yang saat ini memprioritaskan pembahasan aturan ini.
"Banyak poinnya. Kita perkenalkan banyak hal baru, tentang kepastian tanah terlantar sehingga tidak mudah kalau tanah terlantar digugat," kata dia, Rabu (31/10/2018).
"Insya Allah sebelum habis parlemen ini berarti sebelum April, insya Allah sudah jadi," imbuh dia.