Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah merencanakan reformasi perpajakan atau perubahan besar kebijakan perpajakan. Rencana tersebut akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, ada 7 poin kebijakan mendasar dari kebijakan tersebut. Pertama, adalah penurunan tarif pajak penghasilan badan (PPh Badan). Tarif 25 persen akan dipotong secara bertahap menjadi 22 persen pada tahun 2022 dan efektif 20 persen pada 2023.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk perusahaan go public tarif PPh lebih rendah 5 persen dari normal dan untuk yang baru terdaftar tarif 3 persen lebih rendah dan berlaku selama 5 tahun," Kata Robert, di Kantornya, Kamis (5/9/2019).
Kedua, penghapusan pajak penghasilan atas dividen yang diterima oleh wajib pajak di Indonesia baik badan maupun perorangan. Relaksasi ini berlaku untuk entitas WP dengan kepemilikan saham lebih dari 25 persen tidak dikenakan pajak penghasilan.
Kemudian untuk entitas WP DN dengan kepemilikan saham di bawah 25 persen dikenakan tarif normal, kecuali diinvestasikan kembali di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk WP OP yang tidak akan dikenakan pajak penghasilan final selama itu diinvestasikan kembali di dalam negeri.
Ketiga, perubahan dalam sistem perpajakan dari World Wide ke teritorial untuk WP OP, baik subjek pajak domestik maupun asing. Penentuan subjek pajak berlaku berdasarkan periode 183 hari.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengkreditan Pajak
Kemudian yang keempat, relaksasi pengkreditan pajak masukan oleh pelaku usaha belum ditetapkan sebagai PKP, pajak masukan yang ditemukan dalam pemeriksaan dan pajak masukan sebelum PKP melakukan penyerahan terulang PPN. Ketiga kategori tersebut dibuka pintu untuk melakukan pengkreditan sepanjang memiliki bukti berupa faktur pajak.
Selanjutnya, yang kelima, menata ulang sanksi administrasi dari skema saat ini sebesar 2 persen per bulan. Skema sanksi diperbarui dengan penghitungan akhir dari beban sanksi rata-rata 1 persen.
"Misal untuk sanksi bunga atas kurang bayar karena ada pembetulan SPT maka dalam RUU ini digunakan penghitungan suku bunga acuan BI ditambah 5 persen kemudian dibagi 12,jadi kan rata-rata sanksi bunga per bulan itu 1 persen bahkan kurang dari 1 persen," ujarnya.
Â
Advertisement
Konsolidasi fasilitas pajak
Keenam, konsolidasi fasilitas pajak. Insentif tax holiday, pengurangan pajak super (Super Deductible Tax), fasilitas PPh di zona ekonomi khusus dan PPh pada SBN di pasar internasional akan diatur juga dalam RUU ini.
Terakhir yang ketujuh adalah perpajakan ekonomi digital yang akan dibagi menjadi dua instrumen yaitu PPN dan PPh. Untuk memastikan pengumpulan PPN, pemerintah akan menunjuk subjek pajak asing untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN ke kas negara.
Adapun untuk mendapatkan pajak penghasilan pada entitas digital, pemerintah sedang meninjau definisi BUT (Bada Usaha Tetap) melalui tagihan pajak baru. Kehadiran fisik tidak akan lagi menjadi faktor penentu.
"Dengan adanya relaksasi ini paling besar itu di PPh badan yang kalau turun langsung 20 persen itu potential loss-nya sebesar Rp 87 triliun. Sementara turun 22 persen potential loss nya menjadi Rp 52, 8 triliun," tutupnya.
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com