Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK, Indonesia Bakal Alami Kemunduran?

Presiden Jokowi diminta untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terhadap UU KPK.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Sep 2019, 18:30 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2019, 18:30 WIB
Jokowi Beri Arahan di Rakornas Pengendalian Karhutla 2019
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan pengarahan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/8/2019). Jokowi menyampaikan tak mau kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 terulang kembali. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disetujui oleh Presiden dan DPR. Namun publik masih menuntut Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK agar lembaga antirasuah tersebut tidak dilemahkan.

Lalu apa dampaknya terhadap perekonomian jika Presiden tidak mengeluarkan Perpu tersebut?

Ekonom Senior, Faisal Basri mengungkapkan jika Perppu KPK tidak diterbitkan maka perekonomian RI akan terganggu. Tidak hanya ekonomi, namun kondisi Indonesia secara umum akan mengalami kemunduran.

"Kalau saya sih sudah enggak bicara ekonomi. Terancamnya peradaban. Kan rusak peradaban karena itu (korupsi)," kata dia, saat ditemui di Kantor INDEF, Jakarta, Senin (30/9).

Dia mencontohkan beberapa negara yang mengalami kemunduran akibat suburnya praktik korupsi di negara tersebut. Salah satunya adalah Venezuela, Zimbabwe, Libya, dan Syiria.

"Everywhere peradabannya mundur, bahkan rusak gara-gara korupsi itu," tutupnya.

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menyikapi hasil revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan DPR. Keputusan itu setelah UU KPK baru disahkan mendapat pro dan kontra masyarakat.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perppu UU KPK Dinilai Bisa Munculkan Preseden Kurang Baik

DPR Sahkan Revisi UU KPK
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menilai penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait UU KPK bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam ketatanegaraan kita, di mana satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit di-perppu-kan," katanya di Jakarta, Jumat 27 September 2019.

Hal itu disampaikannya usai diskusi bertema "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta.

Ia mengakui bahwa perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya tergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting sehingga perlu mengeluarkan perppu.

"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk memenuhi tuntutan publik," katanya.

Namun, kata dia, pemerintah bisa saja dinilai mencari aman demi menjaga citra politik, sebab sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.

"Pemerintah kan 'co-legislator' dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya