Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta W Kamdani, meminta kepada para pelaku usaha untuk memutar otak dalam upaya menggenjot kinerja ekspor. Mengingat, isu geopolitik saat ini berdampak negatif pada proyeksi perluasan pasar.
"Makanya sekarang kita harus tahu persis, dengan situasi ini mau masuk pasar yang mana, apa dampaknya?," kata Shinta di Kantornya, Jakarta, Selasa (19/11).
Shinta mengatakan selain perang dagang Amerika Serikat dan China, dampak geopolitik yang perlu segera diantisipasi yakni pembatalan penyelenggaraan KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile.
Advertisement
Ketidakjelasan pertemuan APEC Leaders Week karena alasan ketidakstabilan keamanan menghambat Indonesia yang telah memiliki kerja sama ekonomi komprehensif dengan Chile.
Baca Juga
"Tentu saja seperti negara yang banyak masalah seperti Chili, kita semua APEC, dicancel di Chili. Jadi, padahal kita punya CEPA juga dengan Chili. Kita harus antisipasi. Bukan berarti ini bakal terus menerus," katanya.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah konflik berkepanjangan di negara yang masuk dalam proyeksi peningkaan ekspor RI, diantaranya adalah Hong Kong.
"Kita enggak tahu dengan keadaan Hong Kong, tapi apapun ini secara global dunia ini besar jadi kita harus melihat mana negara-negara yang memang politiknya sedang mengalami masalah," tuturnya.
Dengan berbagai keadaan geopolitik tersebut, maka pihaknya meminta agar pelaku industri dapat mempelajari keadaan situasi dari berbagai negara tersebut. Paling tidak, ada formulasi dalam menjangkau pasar-pasar baru.
"Jadi kita tahu fokus peluang pasar yang keadaannya mendukung. Ini apa saja. Ini semua yang kita lakukan," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kinerja Ekspor Meningkat jadi USD 14,93 Miliar di Oktober 2019
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Oktober 2019 mencapai USD14,93 miliar. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,92 persen dibanding ekspor September 2019. Namun jika dibanding Oktober 2018 turun 6,13 persen.
Kepala BPS, Suhariyanto menyebutkan kenaikan terjadi pada ekspor minyak dan gas (migas) sebesar 5,56 persen menjadi USS 14,01 miliar.
"Sementara dibanding ekspor nonmigas Oktober 2018, turun 2,48 persen," kata dia, dalam konfrensi pers di kantornya, Jumat (15/11).
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2019 mencapai USD 139,11 miliar atau menurun 7,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, demikian juga ekspor nonmigas mencapai USD128,76 miliar atau menurun 5,82 persen.
Adapun peningkatan terbesar ekspor nonmigas Oktober 2019 terhadap September 2019 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar USD144,6 juta (8,24 persen).
"Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada kapal, perahu, dan struktur terapung sebesar USD74,1 juta (86,68 persen)'" ujarnya.
Sementara itu, kalau dilihat menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari-Oktober 2019 turun 3,74 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, dan ekspor hasil tambang dan lainnya turun 16,07 persen. Sementara ekspor hasil pertanian naik 3,40 persen.
Ekspor nonmigas Oktober 2019 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu USD2,77 miliar, disusul Amerika Serikat USD1,53 miliar dan Jepang USD1,24 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 39,55 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar USD1,22 miliar.
Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari-Oktober 2019 berasal dari Jawa Barat dengan niIai USD 25,31 miliar (18,20 persen), diikuti Jawa Timur USD15,56 miliar (11,18 persen).
"Dan Kalimantan Timur USD 13,75 miliar (9,89 persen)," ujarnya.Â
Advertisement