Liputan6.com, Jakarta Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kini tengah menjadi sorotan berbagai kalangan. Masalah ini bermula ketika perusahaan menunda pembayaran klaim produk asuransi JS Saving Plan yang dijual melalui bank mitra (bancassurance) sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018.
Kala itu, Jiwasraya menyatakan pemenuhan pendanaan untuk pembayaran masih diproses. Namun hingga kini, perseroan masih belum sanggup memenuhi kewajiban, hingga total polis jatuh tempo atas produk tersebut pada Oktober-Desember 2019 mencapai sekitar Rp 12,4 triliun.
Advertisement
Baca Juga
Presiden Jokowi bahkan menyebutkan permasalahan Jiwasraya sebenarnya sudah terjadi sejak 10 tahun silam. Lantas, seperti apa akar permasalahannya?
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko blak-blakan mengenai mengapa Jiwasraya sudah bermasalah sejak lama. Perusahaan pelat merah ini dikatakannya secara fokus bisnis sudah salah, khususnya dalam penjualan produk.
Situasi ini diperparah dengan penerbitan produk Savings Plan yang menawarkan guaranteed return 9-13 persen selama 2013 hingga 2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Hal ini yang dianggap Hexana produk yang tidak masuk akal.
"Return yang dihasilkan Jiwasraya Saving Plan saja lebih besar dibandingkan tingkat bunga deposito, bond yield dan lainnya. Logikanya saja sudah tidak masuk," kata dia pada Jumat kemarin.
Mengutip gambaran kondisi perusahaan yang dikeluarkan Jiwasraya, Sabtu (28/12/2019), akar masalah utama memang terletak pada produk tradisional dengan skema garansi tinggi jangka panjang, serta produk Saving Plan dengan guaranteed rate di atas suku bunga perbankan.
Situasi tersebut diperparah dengan investasi yang bersifat high risk dan return financial instrument yang berpengaruh terhadap menurunnya tingkat kepercayaan pemegang polis. Itu kemudian menyebabkan harga financial instrument dan likuiditas pasar turun, sehingga pencairan investasi bermasalah.
Akibatnya, penundaan pembayaran polis jatuh tempo serta adanya potensi operasional perusahaan akan selalu merugi di tahun-tahun berikutnya.
4 Permasalahan
Dalam laporan tersebut, disimpulkan setidaknya ada empat permasalahan yang membuat kinerja perseroan menjadi negatif.
Pertama, kesalahan pembentukan harga produk atau mispricing, seperti produk tradisional berskema garansi jangka panjang (sampai dengan 14 persen net) dan Savings Plan yang memiliki guaranteed return 9-13 persen pada periode 2013-2018.
"Dengan guaranteed return yang ditawarkan dan saat ini lebih tinggi dari pertumbuhan IHSG dan yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar," tulis laporan tersebut.
Kedua, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi di mana Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk asset untuk mengejar high return.
Seperti saham sebesar 22,4 persen (Rp 5,7 triliun) dari jumlah aset finansial, tapi hanya ditempatkan 5 persen di saham LQ45 atau saham yang likuid. Lalu reksadana 59 persen (Rp 14,9 triliun), di mana hanya 2 persen saja yang dikelola top tier manajer investasi Indonesia.
Ketiga, adanya rekayasa harga saham (window dressing) lewat masifnya jual-beli saham dengan dressing reksadana. Modusnya, saham yang overprice dibeli oleh Jiwasraya kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada manajer investasi, untuk kemudian dibeli oleh Jiwasraya.
Keempat, tekanan likuiditas dari produk Savings Plan. Itu kemudian berdampak terhadap penurunan kepercayaan nasabah yang menyebabkan merosotnya penjualan. Jiwasraya juga tidak memiliki backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban sehingga terjadi kasus gagal bayar.
Kondisi tersebut lantas berakibat pada dua hal, yakni tekanan likuditas dan melemahnya solvabilitas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban.
Dalam kasus tekanan likuiditas, mayoritas aset investasi yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan illiquid, diberhentikannya skema Saving Plan sehingga penerimaan premi turun, menurunnya pendapatan investasi, serta meningkatnya nilai klaim dan manfaat.
Sementara melemahnya solvabilitas tercermin dalam nilai aset yang tidak sesuai dengan nilai pasar, sehingga harus dilakukan impairment asset, ekuitas negatif sebesar Rp 23,9 triliun dan rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) negatif sebesar 805 persen per September 2019, tambahan admitted asset untuk mencapai RBC minimal 120 persen, hingga pembentukan cadangan (liabilitas understated) aset belum dilakukan impairment (overstated).
Advertisement