Langkah Antisipasi Pemerintah Jika Harga Minyak Dunia Melonjak

Harga minyak dunia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Jan 2020, 15:40 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2020, 15:40 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengaku sudah mengantisipasi apabila harga minyak dunia melonjak. Pihaknya bahkan berencana untuk memboyong minyak langsung dari produsen, Total.

Seperti diketahui, harga minyak dunia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran.

Hal itu dipicu setelah militer AS membunuh seorang komandan senior Iran, yang memicu kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dapat mengganggu produksi energi di wilayah tersebut.

"Ya memang itu yang diminta oleh Pak Jokowi kan kita harus antisipasi. Apa yang terjadi sekarang tentu, mengenai Amerika, Iran dan Timur Tengah pasti akan juga berdampak kepada Indonesia terutama di harga minyak," katanya saat ditemui di Tanggerang, Minggu (5/1/2020).

Erick menjelaskan dengan membeli langsung dari produsen minyak bisa memangkas biaya yang selama ini dikeluarkan pemerintah cukup besar. Bahkan menurut Erick, harga minyak yang dibeli bisa lebih murah hingga USD 6 per barel.

“Iya kan supaya bisa cut, memangkas pada margin yang tidak perlu, salah satunya tender dengan AS. Harga jelas lebih murah USD 5-6,” jelasnya.

Di samping itu, untuk menangkal lonjakan harga minyak dunia dirinya juga akan mendorong program B30. Sebab, dengan penerapan program tersenut dapat menekan impor minyak.

"Salah satunya kita terapkan B0 dengan adanya B30, ketergantungan daripada impor minyak bisa lebih ditekan," jelas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Terpengaruh Faktor Global, Harga Minyak Indonesia Naik 3,44 per Barel

lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan‎ harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada November 2019 mencapai USD 63,26 per barel. Angka tersebut naik sebesar USD 3,44 per barel dari USD 59,82 per barel pada bulan sebelumnya.

Dikutip dari situs resmi Ditjen Migas Kementerian ESDM, Kamis (5/12/2019) ICP SLC juga mengalami kenaikan menjadi USD 63,64 per barel, naik sebesar USD 3,66 per barel dari USD 59,98 per barel pada Oktober 2019.

Tim Harga Minyak Indonesia menyatakan, harga rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional pada November 2019 mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu respon positif pasar atas kondisi perekonomian global yang diindikasikan oleh optimisme pasar akan tercapainya kesepakatan dalam pembicaraan dagang Amerika Serikat (AS)- China Tahap 1, seiring dengan respon positif dari Presiden AS dan Pemerintah China, meningkatkan harapan pada perbaikan pertumbuhan ekonomi global serta permintaan minyak mentah global. 

Selain itu, keputusan Uni Eropa untuk menunda Brexit hingga pemilihan Parlemen Inggris selesai pada awal Januari 2020 mencegah berkembangnya resiko ekonomi yang substansial dalam jangka pendek.

Pemicu lainnya adalah, ekspektasi pasar bahwa negara-negara OPEC+ akan memperpanjang periode pemotongan produksi atau bahkan menambah besaran pemotongan produksi dalam pertemuan pada 5 Desember 2019.

Faktor lainnya, berdasarkan publikasi International Energy Agency (IEA) periode November 2019 melaporkan bahwa proyeksi permintaan minyak mentah global naik pada kuarta 4 2019, naik sebesar 300.000 barel per hari dibandingkan kuartal 3 2019 yang dihasilkan dari perbaikan pertumbuhan permintaan minyak mentah negara-negara berkembang.

Selain itu, penurunan produksi Iran menjadi sebesar 2,15 juta barel per hari, yang merupakan produksi terendah sejak 1988, akibat pengenaan sanksi oleh AS.

Sementar Energy Information Administration (EIA) melaporkan, kenaikan harga minyak juga disebabkan penurunan stok distillate AS pada November 2019 sebesar 3,4 juta barel menjadi sebesar 116,4 juta barel dibandingkan bulan Oktober 2019, yang diakibatkan dari penurunan impor distillate AS dan operasional kilang AS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya