Liputan6.com, Jakarta - Dua BUMN yang bergelut di sektor keuangan tengah jadi perbincangan. Keduanya adalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).
Asal muasal terjadinya masalah di kedua BUMN ini serupa. Terkait investasi pada saham-saham yang terbilang gorengan. Imbas dari kedua kasus ini pun sama, perusahaan merugi dan konsumen menjadi korban.
Kasus Jiwasraya membuat perusahaan ini rugi hingga Rp 13,7 triliun, sedangkan kasus Asabri disebut-sebut mencapai Rp 10,8 triliun.
Advertisement
Jiwasraya
Kepala Pusat Penerangan Hukum kejaksaan Agung Hari Setiyono menjelaskan, kasus Jiwasraya bermula dari adanya laporan yang berasal dari Menteri BUMN periode 2014-2019 Rini M Soemarno.
Baca Juga
Dalam laporan menyebutkan jika ada dugaan penyalahgunaan investasi yang melibatkan 13 perusahaan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Akibat adanya transaksi–transaksi tersebut, Jiwasraya sampai dengan bulan Agustus 2019, harus menanggung potensi kerugian negara hingga Rp 13,7 triliun. Kerugian berkaitan dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi JS Saving Plan.
Asuransi JS Saving Plan yang mengalami gagal bayar terhadap klaim jatuh tempo, sebenarnya sudah terprediksi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan dan biaya operasional.
Pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi yang dilakukan Jiwasraya karena telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan High Risk (resiko tinggi) untuk mengejar high return (keuntungan tinggi).
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyatakan, kerugian yang ditanggung Jiwasraya akibat adanya penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi fraud dalam pengelolaan Saving Plan dan investasi.
Sejak 2015, Saving Plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di PT AJS. Produk ini merupakan produk simpanan dengan jaminan return atau bunga yang sangat tinggi.
Namun, dana dari saving plan diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread, pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada PT AJS yang berujung pada gagal bayar.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko kemudian blak-blakan mengenai mengapa Jiwasraya sudah bermasalah sejak lama. Manajemen lama dari perusahaan pelat merah ini dikatakan secara fokus bisnis sudah salah, khususnya dalam penjualan produk. Untuk diketahui, Hexana diangkat menjadi direktur utama pada November 2018.
Hexana melanjutkan, fokus bisnis yang salah ini diperparah dengan penerbitan produk Savings Plan yang menawarkan guaranteed return 9-13 persen selama 2013 hingga 2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Hal ini yang dianggap Hexana produk yang tidak masuk akal.
"Return yang dihasilkan Jiwasraya Saving Plan saja lebih besar dibandingkan tingkat bunga deposito, bond yield dan lainnya. Logikanya saja sudah tidak masuk,"Â tegas dia.
Â
Kasus Asabri
Sedangkan untuk kasus Asabri diungkapkan secara gamblang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
"Ya saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin itu tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya, di atas Rp 10 triliun," ujar Mahfud.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo juga membenarkan jika Asabri mengalami kerugian. Hal tersebut terjadi akibat salah menempatkan portofolio investasi pada 14 emiten yang sahamnya anjlok.
Baca Juga
Mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri tersebut mengatakan, penurunan nilai saham tersebut sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu.
Mengatasi kasus ini, Kementerian BUMN kemudian menggandeng BPK. "Kita lagi menginvestigasi dengan BPK. Jadi belum terlihat dari kapannya (kerugian nilai saham terjadi). Tapi ini sudah cukup lama," terang Kartika.
Kerugian perusahaan ini diakui Direktur Utama PT Asabri (Persero) Letjen TNI (Purn) Sonny Widjaja. Nilai investasi perusahaan yang dirinya kelola mengalami penurunan.
"Sehubungan dengan kondisi pasar modal di Indonesia, terdapat beberapa penurunan nilai investasi Asabri yang sifatnya sementara," ujar Sonny.
Meski demikian, Sonny memastikan jika Asabri telah memiliki mitigasi untuk mengatasi penurunan tersebut.
Â
Konsumen Harus Diutamakan
Kemunculan dari dua kasus ini, konsumen tentu yang menjadi korban. Pada pertengahan Desember, belasan nasabah Jiwasraya tampak mendatangi Kementerian BUMN. Mereka datang untuk menanyakan kepastian pembayaran polis miliknya.
"Mau menanyakan mengenai Jiwasraya bagaimana kelanjutannya," ujar salah satu nasabah Jiwasraya, Haresh saat itu.
Keinginan nasabah menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini menginginkan, kalaupun pada akhirnya ada pembentukan pansus, maka penyelesaian kasus Jiwasraya maupun Asabri harus tetap lebih mengutamakan kepentingan konsumen.
Kepentingan berkaitan dengan pengembalian dana nasabah, sehingga masyarakat mendapat haknya. "Yang pertama kalau ada Pansus bagaimana kemudian mengembalikan uang nasabah apakah bentuknya ini jadi agenda utama," kata Sekretaris YLKI Agus Suyatno saat berbincang dengan Liputan6.com.
Agus mengingatkan, Pansus ‎Jiwasraya jangan sampai seperti keputusan hukum kasus penipuan umroh yang terjadi pada beberapa waktu lalu, menjadikan uang tersangka sebagai hasil sitaan sitaan negara.
"Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, jangan politis saja untuk menyelamatkan uang nasabah," tuturnya.
Agus melanjutkan, besaran uang yang dikembalikan harus sesuai dengan perjanjian di awal. Dia pun menginginkan, Pansus Jiwasraya juga harus mengungkap penyebab dan pihak yang bertanggungjawab.
"Kemudian penyebabnya siapa yang bertanggung jawab iya, tapi harus ada jaminan harus balik sesuai hitungan secara bisnis," tandasnya.
Sedangkan pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, kegagalan Asabri dalam menempatkan investasi hanya bisa diselesaikan pemerintah, tanpa melalui jalur antarbisnis. Hal itu karena Asabri merupakan perusahaan asuransi sosial, bukan perusahaan asuransi privat ataupun komersil.
Status sebagai perusahaan asuransi sosial itu juga yang tidak memungkinkan bagi Asabri untuk mendapat investor strategis guna menutupi kebutuhan pendanaan.
Maka itu, kata Irvan, salah satu opsi penyelesaian masalah di Asabri adalah dengan mempercepat penggabungan Asabri ke BPJS TK. Skema ini dianggap lebih mudah, karena penggabungan dua badan pemerintah ini bisa dilakukan tanpa proses likuidasi.
Â
Advertisement
Jangan Bailout
Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, penyelamatan Jiwasraya dan Asabri sebaiknya tidak menggunakan skema suntikan dana (bailout) dan yang terpenting adalah nasib dana nasabah dan keuangan negara.
"Yang terpenting adalah bagaimana nasib keuangan negara di Jiwasraya dan bagaimana nasib dana nasabah. Itu harus dicari solusi bersama. Ada wacana bailout, kami menyarankan tidak dilakukan karena justru negara berpotensi rugi kedua kalinya," kata Achmad kepada Liputan6.com.
Melainkan, saran dia, harus dicari solusi bersama untuk menuntaskan kedua kasus tersebut. Hal itu berguna untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, serta memberikan kepastian terkait nasib uang nasabah dan keberlangsungan kedua perusahaan itu.
"Maka kalau ada pejabat bilang apakah dengan pansus uang nasabah bisa kembali? Itu pernyataan yang tak paham struktur kekuasaan dalam trias politika. Kalau pertanyaannya dibalik? Apakah dengan tidak ada pansus uang nasabah bisa kembali?,"Â jelas dia.
Maka, untuk itu diperlukan untuk membentuk panitia khusus (pansus). Ini menurut dia karena DPR hanya bertugas untuk melakukan pengawasan, termasuk tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan instrumen pengawasan melalui Analisis Kebutuhan Diklat (AKD).
"Sebenarnya wacana pembentukan pansus hanyalah prosedur biasa dan normal tak perlu dikhawatirkan berlebihan," jelasnya
Dia pun menjelaskan kenapa menyarankan pembentukan pansus, karena urusan Jiwasraya ini kompleks, tidak hanya soal tata kelola BUMN, tapi juga ada mengenai sektor keuangan, ada dana nasabah, dan persoalan hukum.
Lahirnya Pansus tidak akan mengganggu proses hukum, karena pansus adalah instrumen politik bahkan keduanya bisa saling berkoordinasi.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum berencana memberi suntikan modal bagi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Walaupun saat ini Jiwasraya membutuhkan dana Rp 32,89 triliun agar bisa mencapai rasio kecukupan modal atau risk based capital (RBC) minimal 120 persen.
"Kita belum bicarakan apakah perlu penambahan modal dari APBN atau tidak," ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata.
Isa mengatakan, pemerintah hingga kini masih mencari upaya penyelamatan Jiwasraya. Langkah-langkah yang dilakukan akan mengutamakan business to business (B2B).
Lembaga Penjamin Polis Asuransi
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Suahasil Nazara mengatakan, OJK tengah melakukan persiapan mendesain lembaga penjaminan polis asuransi. Pembentukan tersebut berkaca dari kasus gagal bayar Jiwasraya yang kemudian memunculkan banyak temuan baru.
"Kalau persiapannya kita terus persiapan untuk mendesain yang namanya lembaga penjaminan polis asuransi tersebut," ujar Suhasil.
Baca Juga
Pembentukan lembaga penjaminan polis memerlukan koordinasi dengan semua pihak terutama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam undang-undang asuransi sendiri, diperbolehkan membentuk lembaga penjaminan polis dengan adanya persetujuan DPR.
"Undang-undang asuransi mengamanatkan pendirian dari yang namanya lembaga penjaminan polis. Nah ini diamanatkan dibentuk dengan undang-undang. Jadi undang-undang itu juga merupakan satu pekerjaan rumah. Tentu kita tahu bahwa kalau dia merupakan undang-undang memerlukan koordinasi dengan DPR dalam proses persetujuannya," jelasnya.
Dia melanjutkan, ke depan OJK akan meningkatkan pengawasan atas seluruh sektor keuangan bukan hanya perbankan tetapi juga Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Selain itu, dia berharap, OJK juga semakin mampu mendeteksi kejanggalan kinerja suatu lembaga keuangan.
"Kalau kita lihat memang diperlukan pengawasan yang kuat dan pengawasan yang menurut saya, harusnya bisa memberikan sinyal. Kalau sekarang itu kan pengawasan memang ada lembaga pengawas di internal lalu kemudian yang namanya laporan keuangan itu kan dilakukan proses audit," tandasnya.
Advertisement