Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan angka konsumsi rumah tangga di kuartal IV tahun 2019 yang tumbuh hanya 4,97 persen, lebih rendah dibanding periode sebelumnya sebesar 5,08 persen.
Hal tersebut menunjukkan turunnya daya beli masyarakat yang justru harus terus digenjot karena konsumsi memberi kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Apalagi saat ini, penyebaran virus Corona dari China ditakutkan akan memukul sektor yang menghasilkan konsumsi besar-besaran.
Untuk itu, pemerintah melakukan segala cara agar daya beli masyarakat bisa meningkat lebih tinggi. Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi menyatakan ada beberapa langkah yang sedang disusun.
Advertisement
Misalnya, penjualan merchandise karakter film lebih cepat dari tanggal seharusnya.
Baca Juga
"Kami menawarkan, kami bertemu dengan pekerja seni, tolong dong mereka buat satu event. Contohnya satu moment, mereka akan rilis 1 film dengan karakter, nah merchandisenya dijual sekarang-sekarang bisa nggak, nggak perlu menunggu nanti saat mau rilis, itu kan memancing konsumsi," tutur Edi saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (13/02/2020).
Langkah yang lain misalnya mengadakan festival belanja, baik konvensional maupun online. Untuk online, nanti pemerintah akan bekerja sama dengan pihak e-commerce. Namun, barang-barang yang dijual di e-commerce juga harus dilihat asalnya.
"Kalau yang dijual belikan barang impor dari China, ya percuma juga, nggak ada barangnya. Makanya kita lihat bisa nggak dorong para pelaku usaha misalnya mendapatkan barang lain dari domestik," imbuh Edi.
Lebih lanjut, Edi bakal tetap mempertimbangkan festival belanja online ini karena diharapkan akan bisa mendorong konsumsi nanti, meskipun saat ini pihak e-commerce masih mengevaluasi program diskon 11.11 dan 12.12 yang kemarin mereka adakan.
"Mereka ingin lihat yang kemarin, 11.11 dan 12.12 seperti apa. Kalau sukses nanti dilihat yang dibelanjakan barang apa," kata Edi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bakal Turunkan Daya Beli Masyarakat
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan demikian, kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen mulai berlaku 1 Januari 2020.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, kenaikan iuran yang dilakukan oleh pemerintah yakni sebagai alternatif untuk menambal defisit yang selama ini dirasakan oleh BPJS kesehatan. Namun, langkah ini dinilai belum signifikan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.
"Dari sisi BPJS memang kenaikan iuran itu sangat dibutuhkan untuk menutup defisit. Tapi harus diimbangi dengan meningkatkan kepatuhan peserta membayar pajak," kata dia kepada merdeka.com, Kamis (31/10).
Piter mengatakan dengan dinaikannya iuran maka pemerintah perlu juga mengevaluasi luasnya pelayanan yang dilakukan dengan beban iuran yang sama tanpa membedakan peserta kaya atau miskin."Yang juga harus dievaluasi potensi moral hazard di rumah sakit dan dokter," imbuh dia.
Sementara bila dilihat dari sisi ekonomi makro, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tentu akan mengurangi daya beli masyarakat. Mengingat secara bersamaan juga pemerintah menaikan cukai rokok, serta kemungkinan kenaikan harga barang- subsidi lainnya.
"Semua kenaikan beban yang harus dibayar masyarakat ini, dengan asumsi penerimaan tetap akan mengurangi daya beli yang kemudian menahan pertumbuhan konsumsi. Pada ujungnya dgn pertumbuhan konsumsi yang lebih rendah kita akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi," jelas dia.
Advertisement