Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tengah digodok agar rampung sesegera mungkin. Peraturan sapu jagat ini diklaim bakal menyelesaikan seabreg masalah investasi hingga penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
Salah satu sektor yang mengalami perubahan aturan atas Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah transportasi. Contohnya saja, penentuan tarif penerbangan kelas ekonomi.
Di dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diterima Liputan6.com, Rabu (19/02/2020), penentuan tarif penerbangan kelas ekonomi tak lagi berada di bawah kewenangan Menteri Perhubungan dalam Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan), yang sebelumnya diatur dalam pasal 130 UU nomo 1 tahun 2009 tentang penerbangan.
Advertisement
"Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 130 setelah diubah dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
Baca Juga
Menanggapi perubahan ini, Pengamat Penerbangan Arista Atmadjati menyatakan sebenarnya Peraturan Pemerintah (PP) kemungkinan besar lebih kuat kedudukannya dan lebih berkelanjutan daripada Permenhub.
"Sisi baiknya, bentuknya PP bisa jadi ketentuannya fixednya agak lama, karena pengalaman gonjang ganjing tarif 2019 dengan Permenhub selama 7 bulan bisa jadi 3 kali revisi," ujar Arista dalam keterangannya, seperti dikutip Liputan6.com.
Namun demikian, kemungkinan besar pembentukan PP akan memakan waktu lama karena mendapat banyak masukan dari berbagai pihak.
"Itu jeleknya (lama jadinya), cuma PP lebih kuat, legitimate, industri maskapai bisa firm," kata Arista mengakhiri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RUU Omnibus Law: Syarat Kepemilikan Pesawat bagi Maskapai Diperlonggar
Pemerintah sedang menggodok undang-undang sapu jagat Omnibus Law baik Cipta Kerja maupun Perpajakan. Dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah mengubah beberapa peraturan terkait penerbangan.
Salah satunya soal syarat jumlah pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal yang disebutkan di pasal 60 RUU Omnibus Law Cipta Kerja tentang perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).
Dari draf yang diterima Liputan6.com, Selasa (18/02/2020) pasal 118 ayat 2 UU Nomor 1/2009 soal ketentuan kepemilikan jumlah pesawat bagi maskapai dengan penerbangan berjadwal dihapus, tepatnya di pasal 60.
Sebelumnya, pasal tersebut mensyaratkan angkutan udara niaga berjadwal harus memiliki 5 pesawat dan menyewa 5 pesawat. Ayat tersebut berbunyi:
"(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:
a. angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
b. angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
c. angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani."
Dengan demikian, maskapai penerbangan berjadwal tidak perlu memiliki jumlah minimal pesawat untuk menjalankan bisnisnya.
Advertisement