Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan siaran merupakan salah satu faktor naik turunnya nilai tukar mata uang. Berita merupakan faktor teknik perubahan nilai tukar dalam jangka pendek.
"Dalam jangka pendek memang akan naik turun (nilai tukar mata uang) dipengaruhi faktor teknikal news yang terjadi," kata Perry di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (6/5).
Perry mencontohkan nilai tukar rupiah terhadap dolar pekan lalu yang dibawah Rp 15.000. Namun pada Senin 4 Mei 2020 muncul berita Amerika Serikat dan China yang kembali bersitegang. Presiden Trump menilai ada kemungkinan virus corona masih ada di Wuhan, China. Sehingga Amerika Serikat akan mengenakan biaya tarif.
Advertisement
Lalu ada juga berita ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan di wilayah demiliterisasi. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar kembali melemah. Termasuk berita Mahkamah Konstitusi Jerman yang menyatakan kebijakan quantitative easing bank sentral setempat tidak konstitusional.
Akibat berita-berita tersebut, nilai rupiah terhadap dolar pada Senin Rp 15.050.
Baca Juga
"Sehingga membuat nilai tukar rupiah di Senin Rp 15.050," kata Perry.
Sementara itu berita tentang adanya pembukaan kegiatan ekonomi di sejumlah daerah di Amerika Serikat membawa dampak positif. Hal yang sama juga terjadi di beberapa negara Eropa.
Selain itu salah anggota The Fed menyatakan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat akan membaik di Semester II tahun 2020. Meskipun pada Semester I 2020 terjadi resesi dan pertumbuhan ekonomi pada triwulan-I 2020 hanya 0,3 persen.
Kabar ini membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar menguat 20 bps menjadi Rp 15.030.
"Hari ini insyaallah banyak berita positif sehingga nilai tukar rupiah di bawah Rp 15.000," kata Perry.
Fokus pada Faktor Fundamental
Meski begitu, Perry menilai lebih baik melihat faktor-faktor fundamental yang memengaruhi perubahan nilai tukar. Agar bisa menentukan arah kebijakan dan memahami perkembangan yang terjadi.
"Sehingga inflasi rendah, CAD yang semula diperkirakan 2,5-3 persen PDB insyaallah di Q1 akan di bawah 1,5 persen PDB dan secara keseluruhan di bawah 2 persen dari PDB," papar Perry.
Termasuk perbedaan suku bunga pada surat berharga negara (SBN). Saat ini SBN di Indonesia sudah berjangka waktu 10 tahun dengan yield mencapai 8 persen. Berbeda dengan Amerika Serikat yang yield SBN berkisar 0-0,4 persen.
Perbedaan yang lebih dari 7,5 persen ini sangat diminati oleh investor asing. Perry meyakini investor lebih tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Sehingga dia meyakini jika pandemi ini berakhir, akan banyak aliran modal asing yang masuk ke Indonesia dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar.
"Kalau masalah Covid-19 ini mulai stabil, ini akan membawa inflow kedepan dan mendukung nilai tukar rupiah," kata Perry mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement