ABK Kerap Alami Pelanggaran HAM, Pemerintah Salahkan Regulasi

Regulasi yang tumpang tindih membuat pemerintah kesulitan dalam memberikan perlindungan bagi ABK

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Jul 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2020, 14:00 WIB
THUMBNAIL ABK WNI
THUMBNAIL ABK WNI

Liputan6.com, Jakarta - Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Basilio Araujo, buka suara atas maraknya kasus pelanggaran HAM yang menerpa anak buah kapal (ABK) Indonesia.

Menurut dia, regulasi yang tumpang tindih membuat pemerintah kesulitan dalam memberikan perlindungan bagi ABK.

"Memang tak dipungkiri ABK kita rentan akan korban pelanggaran HAM. Saah satunya ada masalah di hukum nasional kita. Seperti regulasi yang tumpang tindih," ujar dia dalam diskusi virtual via Zoom, Kamis (30/7)

Kemudian, Basilio mencontohkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa kewenangan atas tata kelola pekerjaan pelaut diserahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Ironisnya, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak terdapat satu pasal pun yang membahas profesi pelaut.

Untuk itu, ia mendorong segera dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan demi memaksimalkan perlindungan pemerintah terhadap ABK.

"Sebab, kalau undang-undangnya tidak ada. Tentunya akan jadi masalah besar kita bersama atas ABK Indonesia," imbuh dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Selanjutnya

KM Arung Samudera Karam Terhantam Ombak di Bengkulu, Tujuh ABK Hilang
Ilustrasi kapal tenggelam. Ilustrasi: Kriminologi.id

Lebih jauh, Basilio juga mengkritisi atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mengingat ada perbedaan dasar hukum dari Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO).

Disebutkannya, pada Konvensi ILO Nomor C-097 Tahun 1949 organisasi buruh internasional ini tidak mengakui profesi pelaut sebagai pekerja migran. Tak hanya itu, Konvensi ILO Nomor K-143 Tahun 1999 juga kembali menegaskan bahwa profesi pelaut bukan sebagai pekerja migran.

"Sementara pada aturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 menyatakan pelaut sebagai pekerja migran Indonesia. Sehingga berbagai Undang-Undang kita tidak selaras dengan konvensi ILO," jelasnya.

Maka dari itu, pihaknya mengaku kesulitan dalam memberikan perlindungan bagi ABK. Selain itu, upaya atas pencegahan sejumlah kasus pelanggaran HAM menjadi terhambat.

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya