Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 minus 3,49 persen. Sebelumnya, pada kuartal II 2020 juga tercatat minus 5,32 persen. Dari data tersebut, Peneliti Indef, Bhima Yudhistira memastikan bahwa Indonesia resmi resesi ekonomi.
"Indonesia sudah resmi resesi," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Bhima menjelaskan, resesi yang terjadi saat ini sebenarnya hanya hanya mengafirmasi kembali ekonomi sedang berada dalam tekanan yang cukup berat. Hal yang menjadi pertanyaan saat ini apakah resesi ekonomi ini akan masuk dalam tahap depresi.
Advertisement
"Yang menjadi pertanyaan besar apakah ekonomi Indonesia akan masuk dalam depresi, yakni resesi ekonomi yang berlanjut dalam satu tahun ke depan?" ungkap dia.
Resesi ekonomi dapat mengarah pada depresi ekonomi. Kondisi ini akan terjadi jika pertumbuhan PDB masih negatif hingga tahun 2021.
Akibatnya, kata Bhima akan ada gelombang kebangkrutan massal perusahaan dalam negeri. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak lagi bisa dihindarkan di berbagai sektor.
"Situasi ini akan mengarah pada gelombang kebangkrutan massal perusahaan di dalam negeri," kata dia.
Begitu pun dengan angka kemiskinan akan meningkat akibat pengangguran jika resesi ekonomi berlanjut ke depresi. Jumlah orang miskin baru diperkirakan akan naik.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Indonesia Resmi Resesi, Ini Penyebabnya
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi minus 3,49 persen secara year on year (yoy). Kontraksi ini lebih baik dibandingkan posisi pada kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32 persen. Dengan demikian, Indonesia resemi masuk ke jurang resesi.
Kepala BPS, Suhariyanto mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya resesi.
Secara umum faktor PDB pada kuartal III memang tidak berubah, di mana 64,13 persen PDB kita berasal dari lima sektor yakni industri, pertanian, perdagangan, kontruksi, dan pertambangan.
Sementara, dari 17 lapangan usaha yang ada, tujuh sektor masih tumbuh positif meskipun masih mengalami perlambatan. Ketujuhnya adalah pertanian, infokom, administrasi, pemerintahan, jasa pendidikan, real estate, jasa kesehatan dan pengadaan air.
Adapun sektor yang paling tinggi tumbuhnya adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Di mana, pada kuartal III ini tumbuh sebesar 15,33 persen. Kemudian sektor yang juga tumbuh tinggi yang menempati posisi kedua adalah informasi dan komunikasi yang tumbuh 10,61 persen.
"Kemudian disusul oleh pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah masih tumbuh 6,04 persen," kata dia di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Kamis (5/11/2020).
Dia melanjutkan, pada kuartal III ini 10 sektor mengalami kontraksi, tetapi tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada kuartal III tahun lalu.
Misalnya saja untuk industri, pada kuartal kedua yang lalu itu tumbuh minus 6,19 persen. Tetapi pada kuartal III industri ini tumbuh minus 4,31 persen.
Kemudian, untuk akomodasi makan dan minum masih ada kontraksi, tetapi kontraksinya hanya separuh dari kuartal II yang lalu. Di mana pada kuartal II kemarin akomodasi makan dan minum mengalami kontraksi 22,0 persen, namun pada kuartal III ini kontraksi jauh lebih landai yaitu sebesar 11,85 persen.
"Jadi kembali tujuh sektor masih positif, 10 sektor masih mengalami kontraksi tetapi kontraksinya tidak sedalam kontraksi seperti pada triwulan ke-2 tahun 2020," jelas dia.
Sementara, jika melihat beberapa sektor yang mempunyai peran besar kepada resesi Indonesia, untuk industri pengolahan mengalami perbaikan. Di mana industri pengolahan di kuartal II lalu mengalami kontraksi minus 6,9 persen, namun pada triwulan ketiga ini mengalami perbaikan yakni kontraksinya sebesar minus 4,31 persen.
Advertisement