Jalan Panjang Indonesia Keluar dari Middle Income Trap

Korea Selatan Membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk bisa keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Nov 2020, 11:10 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2020, 11:10 WIB
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti di Gedung Thamrin Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Merdeka.com/Nisya
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti di Gedung Thamrin Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Merdeka.com/Nisya

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki tantangan yang sangat besar untuk bisa keluar dari negara berpendapatan menengah (middle income trap). Hal ini mengingat beberapa negara lain membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa keluar dari perangkap pendapatan menengah.

"Akankah kita terus bertahan di kelompok ini? tentunya tidak. Apakah yang dihadapi Indonesia di 2045? Apakah kita bisa melampaui kelompok berpendapatan menengah tersebut?" kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, dalam acara Seminar Indonesia Emas 2045, secara virtual di Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Dalam studi dilakukan World Bank pada 2016 menyebutkan bahwa dari 110 negara middle income trap sejak 1960 hingga 2016, hanya terdapat 13 negara yang dapat tampil dalam jajaran negara maju. Sementara negara-negara terdekat seperti di Asia, hanya ada beberapa yang bisa lulus dari middle income trap atau perangkap negara berpendapatan menengah selama kurang dari 10 tahun.

Sebagai contoh Korea Selatan. Dia membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk bisa keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah. Kemudian Jepang sembilan tahun dan Hongkong tujuh tahun.

"Tapi banyak negara lain yang membutuhkan waktu hingga puluhan tahun seperti contohnya Argentina. Beberapa negara Amerika Latin mengalami hal semacam itu termasuk Filipina sempat diperkirakan akan cepat menjadi negara maju ternyata mereka stuk juga di negara kelompok berpendapatan menengah," ungkapnya.

Menurutnya hal tersebut menjadi tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depannya. Apalagi posisi Indonesia sendiri saat ini masih menjadi negara berpenghasilan menengah dengan income per kapita sekitar USD 4.000. Sedangkan untuk menjadi negara maju atau berpenghasilan tinggi butuh pendapatan di atas USD 12.000 per tahun.

"Dan ini adalah tantangan kita bagaimana kita bisa melompat menjadi negara berpendapatan tinggi dan menjadi negara maju di tahun Indonesia emas nanti di tahun 2045," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Bonus Demografi

BI Turunkan Suku Bunga Acuan ke 5,25 Persen
Gubernur BI Perry Warjiyo (tengah) didampingi DGS Destry Damayanti (kiri) dan Deputi Gubernur Erwin Rijanto (kanan) memberi keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Kantor BI, Jakarta, Kamis (19/9/2019). BI menurunkan suku bunga acuan BI7DRR menjadi 5,25 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dia menambahkan, saat ini Indonesia memiliki bonus demografi yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai pertumbuhan lebih baik. Di mana kelompok usia muda atau produktif jumlahnya cukup besar. Namun, jangan sampai kata dia, kita terlena karena bonus demografi tersebut, karena akan hilang perlahan setelah 2030.

"Oleh karena itu dari sekarang kita perlu melengkapi diri kita kemampuan kita kapasitas kita sehingga kita tidak terlena dengan bonus demografi tersebut," sebutnya.

Untuk itu, dia menekankan dalam memanfaatkan bonus demografi sumber daya manusia (SDM) harus lebih disiapkan. Karena Indonesia membutuhkan SDM yang adaptif dan inovatif dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini.

"Karena dengan adanya teknologi dan dengan adanya inovatif itu nampaknya fenomena negara yang bisa cepat lepas dari kelompok middle income sebagai contoh di Korea Selatan dan juga Jepang," ujarnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Infografis 4 Sanksi Pelanggar Protokol Covid-19

Infografis 4 Sanksi Pelanggar Protokol Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 4 Sanksi Pelanggar Protokol Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya