Liputan6.com, Jakarta Pasca pengunduran diri Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo atas kasus suap ekspor benih lobster, mencuat sejumlah nama yang berpotensi menggantikannya di kursi kabinet Indonesia Maju.
Beberapa nama tersebut antara lain, Susi Pudjiastuti yang merupakan Menteri KP pada kabinet Kerja (2014-2019), Sandiaga Uno, hingga mantan Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar.
Baca Juga
Sehubungan dengan hal ini, Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menekankan, Menteri KP kedepannya haruslah figur yang profesional. Hal ini merujuk pada sejumlah agenda penting KKP kedepannya.
Advertisement
“Mengingat banyaknya agenda-agenda strategis sektor kelautan dan perikanan ke depan, pengangkatan Menteri yang baru mendesak dilakukan. Menteri Kelautan dan Perikanan ke depan haruslah figur profesional,” ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Selain itu, Dani juga menyebutkan sejumlah kriteria lainnya yakni memiliki komitmen kuat melindungi dan mensejahterakan nelayan dan pembudidaya skala kecil, memiliki kedekatan dan memahami kondisi nelayan, serta memiliki visi yang kuat untuk mendorong agenda transformasi di sektor kelautan dan perikanan.
Lebih lanjut, Dani merincikan empat agenda transformasi KKP kedepannya. Pertama, transformasi struktur ekonomi dan industri perikanan nasional menjadi lebih adil dan kokoh.
Hal ini termasuk memperkuat daya saing industri perikanan nasional dengan mendorong kemitraan, menguatkan kelembagaan ekonomi nelayan melalui koperasi, serta mengokohkan strategi nasional pemberantasan IUU Fishing.
“Kedua, kebijakan yang konsisten dan kuat untuk transformasi perikanan tangkap ke perikanan budidaya. Masa depan pangan dunia ada di laut. Dan, masa depan pangan-laut adalah di perikanan budidaya,” kata Dani.
Karenanya, basis kekuatan ekonomi perikanan nasional kedepannya adalah budidaya. Dimana seluruh daya dan upaya negara mulai ditujukan untuk memperkuat SDM dan inovasi teknologi yang mendukung tumbuh kembangnya perikanan budidaya di Tanah Air.
Ketiga, lanjut dia, melakukan transformasi model pengelolaan perikanan yang sebelumnya eksploitatif dan hanya fokus pada komoditi, menuju arah perikanan berkelanjutan dengan fokus pada kesejahteraan pelaku.
“Oleh sebab itu, penggunaan trawl dan jenis alat tangkap merusak lainnya, harus dipastikan tidak lagi beroperasi di seluruh perairan Indonesia,” jelas Dani.
Terakhir, atau keempat, yakni transformasi tata kelola pemerintah agar lebih fokus pada program-program perlindungan dan pemenuhan hak-hak nelayan dan pembudidaya skala kecil.
Adapun pembenahan dan perbaikan layanan diantaranya meliputi perizinan, asuransi nelayan, BBM bersubsidi, benih, dan perlindungan dan pengakuan wilayah tangkap nelayan kecil dan wilayah hukum adat di pesisir, dan lainnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penangkapan Edhy Prabowo jadi Momentum Kaji Ulang Ekspor Benih Lobster
Beberapa waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo pada Rabu (25/11/2020) ditangkap pukul 01.23 WIB, dini hari, di Bandara Soekarno-Hatta oleh KPK terkait dengan kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster atau benur.
Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution mengatakan momentum penangkapan Menteri KKP harus menjadi pendorong bagi KKP untuk mengambil langkah selanjutnya dalam menyikapi kebijakan ekspor benur.
“KKP dapat memulai langkahnya dengan mengkaji ulang dari awal apakah sebenarnya kebijakan ekspor benur merupakan solusi yang tepat dari permasalahan yang dihadapi nelayan. Atau jangan-jangan kebijakan ini hanya sekedar memfasilitasi 'para aktor jahat' pemain ekspor benur”,” kata Anta dalam diskusi LIPI Sapa Media #6, Senin (30/11/2020).
Kemudian Anta menyarankan pentingnya melakukan analisis aktor-aktor yang berkepentingan, sebelum menerapkan Kembali kebijakan ekspor benih lobster sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya monopoli.
“KKP harus bisa berperan bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga harus menjadi aktor penengah yang memastikan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang seimbang bagi semua aktor,” jelas Anta.
Lanjutnya, kebijakan mengizinkan ekspor benur dalam pendekatan ekologi politik, tidak bisa dilihat hanya sebagai langkah Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nelayan.
Tapi juga harus dilihat sebagai upaya dari aktor-aktor selain nelayan yang memiliki kepentingan secara ekonomi, maupun politik untuk menguasai atau memonopoli bisnis ekspor benur dengan mengandalkan relasi kuasa politik.
“Ekologi politik melihat sebuah fenomena perubahan sumberdaya dari proses politik yang terjadi di belakangnya,” ujarnya.
Menurutnya fenomena kebijakan ekspor benih lobster menunjukan adanya indikasi oligarki yang kemungkinan selama masa Pemerintahan sebelumnya berusaha untuk ‘ditenggelamkan’ melalui pelarangan ekspor Benur dan mencoba bangkit kembali pada saat ini.
“Setidaknya ada tiga aktor yang berkepentingan dalam kebijakan ekspor benur, yaitu pemerintah, swasta, dan nelayan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 terkait eksportir, dan Potensi relasi kuasa,” sebutnya.
Demikian ia menegaskan perlunya mengkaji ulang aktor-aktor yang berkepentingan agar kedepannya pengelolaan budidaya lobster bisa berjalan dengan baik.
Advertisement