Liputan6.com, Jakarta - Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate akan segera diumumkan pada Kamis (18/2/2021) siang ini.
Bank sentral diprediksi akan kembali menurunkan BI7DRRR di bawah 3,75 persen. Namun sejumlah pihak menilai itu sebaiknya dipertahankan selama pandemi Covid-19 belum terkendali.
Baca Juga
Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, memperkirakan Bank Indonesia saat ini punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan.
Advertisement
"Inflasi rendah dan nilai tukar relatif stabil cenderung menguat. BI bisa menurunkan suku bunga acuan," ujar Piter kepada Liputan6.com, Kamis (18/2/2021).
Namun, Piter mempertanyakan apakah kebijakan tersebut sudah tepat waktu. Masalahnya, ia menilai, keputusan penurunan BI rate belum serta merta diterima dengan baik oleh pasar.
"Bagaimana dengan kebijakan penurunan suku bunga acuan sebelumnya, apakah sudah di-response dengan cukup oleh perbankan? Dengan pertimbangan itu saya perkirakan pada Februari ini Bank Indonesia menjaga suku bunga tetap di 3,75 persen," tuturnya.
Menurut dia, Bank Indonesia sebaiknya tetap mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 3,75 persen. Sebab jika kembali diturunkan, itu belum tentu efektif selama pandemi kasus Covid-19 tidak terkontrol baik.
"Saat ini suku bunga sudah sangat rendah, tapi penyaluran kredit masih belum naik karena masih ada pandemi. Diturunkan lagi suku bunga acuan tidak akan efektif kalau pandeminya masih tinggi," jelas Piter.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kabar Gembira, Bank Siap Beri Kredit dengan Suku Bunga Lebih Murah
Perbankan siap menyalurkan kredit dengan suku bunga lebih murah. Hal ini untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan membantu sektor usaha agar tetap dapat bertahan dan mulai melakukan ekspansi usahanya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan bahwa suku bunga kredit konsisten memperlihatkan tren penurunan di semua jenis penggunaan kredit, menunjukkan bahwa perbankan berupaya meningkatkan volume penyaluran kredit dengan suku bunga yang lebih murah.
"Dari sisi perbankan transparansi suku bunga menjadi competitive advantage persaingan yg menjadi daya tarik nasabah. Pasalnya setiap bank memiliki kondisi dan struktur yang berbeda, dan pertimbangan konsumen dalam memilih bank tidak hanya pertimbangan suku bunga, tetapi juga aspek layanan dan komunikasi yang baik antara bank dengan nasabahnya," dikutip dari akun Instagram @ojkindonesia, Selasa (2/2/2021).
OJK juga telah mengeluarkan kebijakan stimulus prudensial sektor keuangan yang menjadi bagian dari Paket Kebijakan Terpadu untuk peningkatan pembiayaan dunia usaha. Hal ini dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional yang diluncurkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan LPS.
Sebagai informasi, OJK telah memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 dan restrukturisasi pembiayaan hingga April 2022. Hal ini untuk meringankan beban debitur yang belum pulih dari dampak pandemi Covid-19 sekaligus menjaga kinerja dan stabilitas sektor keuangan.
Dalam hal dilakukan restrukturisasi berulang selama periode relaksasi, debitur tidak dikenakan biaya yang tidak wajar/berlebihan.
Per 4 Januari 2021, progres restrukturisasi perbankan telah mencapai Rp 971 triliun dengan 7,6 juta debitur. Ini terdiri dari debitur UMKM sebanyak 5,8 juta debitur dengan nilai Rp 386,6 triliun. Sedangkan debitur nonUMKM sebanyak 1,76 juta debitur dengan nilai Rp 584,4 triliun.
Untuk progres restrukturisasi perusahaan pembiayaan yaitu mencapai Rp 191,58 triliun dengan 5 juta kontrak yang setujui.
Advertisement