Liputan6.com, Jakarta Rupiah yang melemah ke level terendah dalam lima tahun memunculkan berbagai kekhawatiran, khususnya terhadap sektor perbankan yang memiliki eksposur terhadap kredit dan surat utang dalam dolar AS.
Salah satu risiko utama yang dikhawatirkan adalah potensi peningkatan Non-Performing Loan (NPL) akibat beban pembayaran utang yang lebih tinggi bagi debitur dengan kewajiban dalam valuta asing.
Baca Juga
Namun, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, kondisi perbankan nasional saat ini masih relatif aman dari tekanan nilai tukar. Meskipun terdapat risiko yang perlu diwaspadai, berbagai mekanisme mitigasi telah diterapkan untuk memastikan stabilitas sistem keuangan.
Advertisement
Salah satu indikator utama yang mencerminkan eksposur perbankan terhadap nilai tukar adalah Posisi Devisa Neto (PDN). Pada Januari 2025, PDN perbankan tercatat hanya 1,24%, jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan OJK sebesar 20%.
Angka ini menunjukkan bahwa eksposur langsung bank terhadap volatilitas nilai tukar relatif kecil, sehingga pelemahan rupiah tidak serta-merta memberikan dampak signifikan terhadap neraca keuangan bank.
"Ini dapat diterjemahkan bahwa eksposur langsung bank terhadap risiko nilai tukar relatif kecil, sehingga pelemahan nilai tukar tidak akan banyak berpengaruh secara langsung terhadap neraca bank," kata Dian dikutip dari jawaban tertulisnya, Rabu (26/3/2025).
Mitigasi Risiko
Selain itu, perbankan memiliki strategi mitigasi risiko yang cukup kuat, terutama dalam hal kredit dalam valuta asing. Umumnya, kredit valas diberikan kepada sektor berbasis ekspor yang juga memiliki penerimaan dalam valas (naturally hedged).
Dengan kata lain, meskipun nilai tukar rupiah melemah, perusahaan yang memperoleh pendapatan dalam dolar AS tetap mampu memenuhi kewajibannya tanpa mengalami tekanan finansial yang besar.
Dari sisi aset, depresiasi rupiah justru berpotensi meningkatkan nilai portofolio surat berharga dan kredit valas yang dimiliki bank. Dengan demikian, dalam beberapa skenario, pelemahan rupiah dapat berdampak positif terhadap profitabilitas bank.
"Selanjutnya, eksposur bank dalam bentuk valuta asing di sisi kredit dan surat berharga yang dimiliki justru akan meningkatkan nilai aset bank saat terjadi depresiasi rupiah, yang juga akan berdampak pada meningkatnya profitabiltas bank," ujarnya.
Tren pertumbuhan kredit valas juga menunjukkan dinamika yang cukup positif. Dibandingkan tahun sebelumnya, pertumbuhan kredit valas pada Januari 2025 tercatat sebesar 13,39% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas yang mencapai 7,19% (yoy). Hal ini menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR valas) meningkat menjadi 80,62% dibandingkan 76,22% pada Januari 2024.
Â
Â
Dampak Pelemahan Rupiah terhadap NPL
Meskipun secara umum perbankan memiliki mitigasi yang cukup kuat terhadap risiko nilai tukar, tetap terdapat potensi dampak negatif terhadap Non-Performing Loan (NPL), terutama bagi debitur yang memiliki utang dalam valuta asing namun pendapatannya dalam rupiah
."Namun demikian, patut disadari bahwa terdapat potensi risiko kredit dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap NPL, utamanya karena depresiasi rupiah dapat menyebabkan kenaikan biaya input sehingga memengaruhi laba perusahaan dan kemampuan membayar debitur," jelasnya.
Menurutnya, depresiasi rupiah dapat menyebabkan kenaikan biaya input, terutama bagi perusahaan yang masih bergantung pada bahan baku impor.
Jika kenaikan biaya ini tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, margin keuntungan perusahaan bisa tergerus, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan membayar utang.
Dalam skenario terburuk, hal ini dapat memicu peningkatan NPL, terutama pada sektor-sektor yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Namun, OJK menegaskan bahwa perbankan telah mengantisipasi risiko ini dengan melakukan pembentukan pencadangan yang cukup.
Selain itu, permodalan perbankan yang kuat juga menjadi faktor utama dalam menjaga ketahanan terhadap volatilitas nilai tukar.
"Hal ini sudah diantisipasi oleh perbankan melalui pembentukan pencadangan yang cukup untuk dapat mengantisipasi pemburukan pada risiko kredit, selain daripada permodalan bank yang cukup tinggi," katanya.
Â
Advertisement
Kebijakan OJK dalam Menghadapi Volatilitas Nilai Tukar
Sebagai regulator, OJK terus berperan aktif dalam memastikan bahwa perbankan memiliki buffer yang cukup dalam menghadapi volatilitas nilai tukar.
"OJK selalu memberikan arahan kepada bank apabila terjadi perubahan kondisi baik di pasar global maupun domestik," ujar Dian.
Terkait volatilitas nilai tukar, bank senantiasa didorong untuk menerapkan manajemen risiko yang kuat antara lain melalui pelaksanaan stress test dengan berbagai skenario dan menyiapkan mitigasi risiko yang tepat.
Sesuai ketentuan OJK, Bank juga telah diwajibkan membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum, sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi, yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan, yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dampak volatilitas nilai tukar.
Â
