Liputan6.com, Jakarta Tarif parkir per jam kendaraan di DKI Jakarta diklaim lebih murah dibandingkan beberapa negara di dunia. Ini bila dibandingkan antara lain dengan tarif parkir di Jepang yang mencapai Rp 30.000 per jam, Swedia Rp 26.000 per jam, Swiss Rp 25.000 per jam dan Australia Rp 23.00 perjam.
"Tarif di DKI ini bukan yang tertinggi, ada yang lebih tinggi lagi seperti di Jepang Rp 30.000 per jam, Swedia Rp 26.000 per jam, Swiss Rp 25.000 per jam dan Australia Rp 23.00 perjam," kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola Parkir Indonesia (Aspeparindo), Irfan Januar di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Rendahnya tarif parkir di Jakarta, dikatakan mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017 tentang Layanan Parkir, Denda Pelanggaran Transaksi dan Biaya Penderekan/Pemindahan Kendaraan Bermotor, Irfan mengatakan tarif parkir di DKI Jakarta relatif rendah dari beberapa negara tersebut.
Advertisement
Dalam Pergub DKI menyebutkan jika tarif mobil dikenakan terendah Rp 3.000 per jam dan maksimal Rp 12.000 per jam. Sedangkan untuk motor minimal Rp 2.000 per jam dan maksimal Rp 6.000 per jam. "Jadi tarif di DKI ini relatif lebih rendah dari negara lain," kata dia.
Rencananya, Pemda DKI Jakarta akan merevisi Pergub 31/2017 terkait tarif parkir setelah dikeluarkannya regulasi layanan tarif parkir. Namun, besaran kenaikan tarif tersebut masih dalam proses pembahasan.
"Besarannya belum bisa (diberitahukan) , ini masih dalam pembahasan. Nanti akan disesuaikan dengan layanan tarif ke depan," kata Kepala UP Perparkirkan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Adji Kusambarto.
Tarif parkir di DKI nantinya akan berbasis zona dan koridor angkutan umum. Dalam revisi regulasi tersebut juga akan memuat insentif dan disinsentif bagi kendaraan yang belum membayar pajak atau melakukan uji emisi.
 Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Ini
Pengusaha Parkiran Keberatan Jalankan Digitalisasi, Ini Alasannya
Pengusaha parkiran sulit untuk menjalankan digitalisasi atau menerapkan pembayaran nontunai. Hal ini karena biaya yang harus dikeluarkan terbilang mahal sehingga menggerus pendapatan mereka.Â
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Parkir Indonesia (Aspeparindo) Irfan Januar menjelaskan, pengusaha parkiran harus mengeluarkan kocek lebih dalam untuk membeli alat dan membayar jasa integrator.
"Buat pembayaran nontunai ini harus ada integrator yang mengkoneksi perusahan kami dengan bank, karena kita butuh jasa itu maka kita yang harus bayar," kata Irfan dalam Diskusi Online bertajuk Digitalisasi Perparkiran, Siapa Diuntungkan, Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Tentu saja, hal ini membuat biaya operasional perusahaan bertambah. Padahal selama ini pendapatan pengusaha parkiran sudah tipis. lihat saja, untuk tarif pajak dari setiap transaksi mencapai 20 persen dari setiap kendaraan yang diparkir. Dia mencontohkan, tarif parkir per jam untuk kendaraan sepeda motor yakni Rp 2.000. Dari tarif tersebut, pengelola hanya mendapatkan Rp 1.600 setelah dipotong untuk pajak 20 persen.
Pendapat tersebut harus kembali dibagi untuk membayar integrator yang sekitar 1 persen sampai 1,5 persen. "Makanya kalau ini ditambah lagi buat integrator 1 persen - 1,5 persen buat penggunaan alat bank itu memberatkan," kata dia.
Sisanya pengelola parkir harus membagi untuk kegiatan operasional dan membayar gaji karyawan. Sehingga, secara tidak langsung proses digitalisasi perparkiran ini dinilai akan mengurangi pendapatan pengelola parkir.
"Banyak beban yang kami tanggung selain potongan dari bank dan integrator, kami terpotong pajak juga," kata dia.
Â
Advertisement