Seruan Jokowi Benci Produk Asing Bertolak Belakang dengan Kebijakan Pemerintah?

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pernyataan Presiden Jokowi soal anti produk luar negeri akan berpeluang menciptakan moral hazzard.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Mar 2021, 11:30 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2021, 11:30 WIB
Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan secara virtual peringatan HUT ke-56 Partai Golkar menyebut, pandemi COVID-19 membuat kontraksi ekonomi di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia, Sabtu (24/10/2020). (Biro Sekretariat Presiden/Kris)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pernyataan Presiden Jokowi soal benci produk luar negeri akan berpeluang menciptakan moral hazzard.

Sebab, pernyataan dimaksudkan agar tercipta konsumen loyal terhadap produk dalam negeri, tetapi sayangnya hal itu dibangun atas dasar kebencian pada produk asing.

Peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom mengatakan, pernyataan itu sangat kontras dengan sikap dan kebijakan pemerintah selama ini. Pemerintah Indonesia telah menandatangani 20 perjanjian dagang melalui mekanisme Free Trade Agreement maupun Comprehensive Economic Partnership Agreement, 9 diantaranya telah diimplementasikan, 11 telah ditandatangani dan dalam proses implementasi. Sementara 13 perjanjian lagi negosiasinya sedang berlangsung.

"Keterbukaan pasar melalui perjanjian dagang ini masih ditambah lagi dengan keterbukaan pada platform digital. Perusahaan besar dunia seperti Google maupun Alibaba serta investor digital platform lainnya mendapatkan ruang yang leluasa dengan perlindungan yang rendah terhadap pelaku usaha dalam negeri, khususnya UMKM. Platform digital membuka masuknya produk-produk asing yang menekan produk lokal yang semakin sulit bersaing", tegas Olisias dalam pernyataanya, Sabtu (6/3).

Selain itu, kebijakan pemerintah mendorong keras Omnibus Law memberikan ruang yang sangat luas bagi investasi asing, mendorong para pekerja Indonesia menjadi pekerja online yang belum terlindungi atau pelaku UMKM yang cenderung dibiarkan bersaing dengan barang asing yang dibebaskan masuk, apalagi melalui e-commerce yang menebus sampai ke desa-desa terdalam di Indonesia.

"Mimpi UMKM berkualitas ekspor seperti bagaimana diperlihatkan oleh Alibaba atau Tao Bao Village tidak semudah membalikan telapak tangan. Tidak begitu saja akan terjadi dengan tersedianya jaringan internet. Tetapi terkait juga dengan kemampuan produksi, seperti bagaimana perkembangan koperasi indonesia tidak berjalan seperti sebagaimana tersirat dalam UUD’45", tambah Olisias.

Dia juga menyoroti persoalan klasik yang belum juga dibenahi secara baik. Korupsi dan tidak siapnya integrasi Pemda dan kesiapan aturan perdagangan (pergudangan, distribusi, mekanisme keuangan dan lainnya) masih menjadi PR besar yang seharusnya dikejar pemerintah. Dana desa hanya akan membawa desa terjerembab jurang besar bila tidak segera disiapkan menjadi kekuatan ekonomi dari bawah yang terintegrasi dengan dukungan digital secara independen.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Predatory Pricing

Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online

Menurut Olisias, predatory pricing terjadi pada situasi kompetisi yang tinggi dan pelaku memiliki kekuatan modal yang yang besar atau kemampuan produksi yang tinggi.

Kekuatan modal membuat permainan harga bisa dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam upaya menguasai pasar yang nantinya akan mengontrol harga. Kemampuan produksi yang tinggi pada sisi lain juga membuat harga produksi menjadi lebih rendah sehingga permainan harga juga bisa dilakukan untuk tujuan yang sama.

"Liberalisasi pasar membuka peluang ini terjadi, dimana Indonesia menjadi ‘medan perang’ kompetisi produk sebagai salah satu dampak dan konsekuensi penandatanganan berbagai FTA", terang Olisias.

Lebih lanjut dia menilai persoalan lain yang perlu menjadi sorotan adalah proses penentuan harga barang-barang impor di Indonesia. Karena pembelian terbesar berbagai barang adalah belanja negara, sehingga banyak sekali barang impor harus melakukan penyesuaian harga.

Salah satu komponen dalam menentukan harga adalah menyisakan nilai tertentu bagi biaya ilegal. Korupsi dan berbagai pungutan tidak resmi atau yang berlebihan menjadi elemen penting pada proses ini. Pada akhirnya hal ini secara keseluruhan menyebabkan harga menjadi tinggi secara signifikan dibandingkan bila barang-barang tersebut dibeli melalui e-commerce atau pembelian secara langsung yang tidak mengalami proses tersebut.

"Hal yang sama juga terjadi terhadap barang-barang produksi lokal. Seharusnya hal ini menjadi kacamata pemerintah dalam memerangi harga dan pemberantasan korupsi," jelasnya.

"Kembali lagi kemampuan produksi dalam negeri yang kuat dan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat menjadi perhatian penting yang harus ditingkatkan mengadapi persaingan yang terbuka sangat luas dan leluasa", tegasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya