Liputan6.com, Jakarta - Populasi sapi di Tanah Air jumlahnya cukup besar. Bahkan berdasarkan catatan Kementerian pertanian ada sekitar 18 juta sapi tersebar di Indonsia. Namun ternyata sapi tersebut tidak bisa dijadikan sapi potong. Mengapa?
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra menjelaskan, Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan komoditas sapi. Terbukti, sejauhini jumlah sapi yang ada di Indonesia mencapai angka belasan juta.Â
Baca Juga
"Kalau lihat angkanya Pak Dirjen PKH (Kementan), 18 juta lebih populasi kita seluruh Indonesia," kata dia dalam diskusi Mahalnya Harga Daging Sapi dan Kerbau, Apa Solusinya?, Senin (29/3/2021).
Advertisement
Meski demikian, dari 18 juta populasi sapi tersebut tidak semuanya bisa dipotong. Karena sebagian ada yang merupakan sapi betina, sehingga tidak bisa dipotong.
"Kalau 18 juta mungkin 9 jutanya masih belum bisa, mungkin 9 juta. Kalau itu betina, mungkin separuhnya kita bisa potong, ya 4,5 juta ekor. Nah perhitungan saya, bahkan 4 juta saja, sapi yang saya lihat di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu setara dengan 700.000 ton kalau bisa siap potong," terang dia.
Dia menambahkan, jika 700.000 ton daging sapi itu bisa diperoleh seluruhnya dari sapi lokal, maka Indonesia tak perlu lagi impor. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan daging nasional ialah sekitar 690.956 ton atau jika digenapkan sebanyak 700.000 ton.
"Kalau 700.000 ton, ya saya mohon nih ke Pak Joni, feedloter-nya diisi dengan sapi lokal sajalah, tidak usah sapi impor, ini bagus-bagus, sapi limosin, sapi brahman, itu bagus-bagus sapinya," tutur Syailendra.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cara Tradisional
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Pujo Setio mengungkapkan, peternak Tanah Air sebagian besar beternak dengan cara tradisional/konvensional.
Sehingga, banyak sapi yang sudah siap potong namun tetap disimpan oleh peternak, dan baru akan dipotong ketika dibutuhkan. Misalnya untuk mendanai anak masuk sekolah, pada saat Idul Adha, dan sebagainya.
"Kita punya data di atas kertas, tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa itu semua sapi siap potong. Karena kita tahu persis bahwa basis peternakan rakyat ini tradisional. Jadi dia lebih banyak menyimpan sapi-sapinya pada saatnya dia dijual untuk sesuai kebutuhan," jelas Pujo.
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Pujo diperlukan solusi jangka panjang, yakni dengan mengajak para peternak rakyat bergabung dengan kemitraan. "Pertama memang harus menuju masyarakat ke arah komersialisasi. Jadi yang selama ini konvensional/tradisional, kita arahkan komersialisasi. Tapi tetap mempertahankan budayanya. Inilah yang kita sebut pola kemitraan atau korporasi di peternak," imbuh dia.
Dengan demikian, maka populasi ekor sapi yang siap potong bisa tercatat, dan bisa diperhitungkan ke dalam stok daging sapi nasional. "Sehingga ada stok siap potong yang kita ketahui setiap tahunnya dari data-data populasi ternak tersebut, sehingga kita bisa konversi ke pasokan daging untuk satu tahun. Ini solusi jangka panjang dengan adanya peralihan paradigma peliharaan ternak di masyarakat dari tradisional/konvensional ke komersial," tutup Pujo.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement