Liputan6.com, Jakarta Pasca boikot besar-besaran terhadap sejumlah brand pakaian barat oleh konsumen China, kini giliran sejumlah investor yang memberi tekanan balasan.
Bersama Interfaith Center on Corporate Responsibilty, puluhan investor menggungat sejumlah brand untuk serius tanggapi kasus pelanggaran HAM di Xinjiang.
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (19/4/2021) ada lebih dari 50 investor terlibat dalam aksi ini. Puluhan investor tersebut sedang dalam proses menghubungi sekitar 40 brand pakaian ternama, mulai dari H&M hingga Hugo Boss untuk meminta transparansi rantai pasok produksi mereka.
Termasuk mendesak perusahaan untuk keluar dari rantai pasok yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM.
Aksi kolektif para investor tersebut dilakukan pasca munculnya kekhawatiran perlawanan konsumen China membuat sejumlah perusahaan pakaian yang terdampak boikot jadi kendor melawan pelanggaran HAM.
Mereka juga mulai curiga beberapa perusahaan telah menghapus pernyataan kontroversialnya terkait Xinjiang.
"Perusahaan tidak memprioritaskan sumber daya untuk menggali rantai pasokan mereka dan memetakannya. Sebagai investor, kami menginginkan transparansi dan akuntabilitas. Ini urusan mereka. Jika mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa lagi?" kata Anita Dorett, direktur program Aliansi Investor untuk Hak Asasi Manusia (IAHR).
Seperti pada kasus Zara. Ritel pakaian terbesar di dunia ini jadi salah satu brand yang paling gencar jadi sasaran boikot konsumen China.
Zara kabarnya tidak lagi memuat pernyataan perusahaan tentang Xinjiang di website resmi mereka sejak minggu lalu. Meski begitu, perusahaan belum memberi tanggapannya.
Begitupun dengan Hugo Boss yang minggu lalu lewat media sosialnya di China berjanji untuk tetap membeli bahan baku produksinya dari Xinjiang. Meski secara terpisah juru bicara perusahaan mengklarifikasi mereka tidak lagi membeli dari Xinjiang dan membantah keterangan yang dimuat di media sosial tersebut.
Sejumlah perusahaan pakaian itu sepertinya masuk ke dalam dilema yang lebih rumit lagi, pasalnya Uni Eropa dikabarkan sedang menggodok regulasi baru yang secara khusus menyasar aturan tentang transparansi rantai pasok.
Mengabaikan desakan para investor untuk memperhatikan nilai-nilai HAM berpotensi jadi pukulan berat di pasar Eropa, pasalnya Uni Eropa menjadi salah satu pihak yang juga ikut menuntut kejelasan tentang kasus di Xinjiang.
Sebagai informasi, Uni Eropa bersama AS, Inggris dan Kanada minggu lalu kompak memberi sanksi kepada pejabat China atas pelanggaran HAM di wilayahnya itu.
Saksikan Video Ini
Boikot di China
Kemarahan konsumen China hingga berujung pada boikot sejumlah brand pakaian barat mulai memuncak sejak minggu lalu.
Aksi ini bermula pasca sejumlah brand pakaian barat secara kompak memberikan pernyataannya terkait tudingan pelanggaran HAM yang terjadi di provinsi terbarat China, Xinjiang yang didominasi oleh penduduk Muslim Uyghur.
Salah satu yang paling terdampak ialah H&M, ritel pakaian asal Swedia dan mengoperasikam bisnis ritel pakaian terbesar kedua di dunia.
Dampak dark masifnya boikot tersebut, H&M terpaksa menutup ratusan ritelnya di China. Beberapa video yang tersebar juga menunjukkan papan reklame perusahaan juga dibongkar paksa.
Di situ online, dua e-commerce terbesar China, Alibaba dan JD.com juga telah menghapus produk H&M dari katalog mereka. Di situs pencarian alamat Baidu Maps dan Alibaba Maps serta aplikasi ride hailing Didi Chuxing, alamat untuk lebih dari 500 gerai H&M di seluruh China juga telah dihapus.
Meski begitu boikot ini bukan hanya menyasar H&M dan Zara saja, sejumlah brand seperti Nike, Adidas, Burberry, Puma, Converse, Calvin Klein, Tommy Hilfiger, Uniqlo dan beberapa lainnya tidak luput dari targetnya. Sejumlah selebriti China juga telah memutus kontrak dengan beberapa brand tersebut.
Advertisement
Kekuatan Dibalik Investor Pro-HAM
Dengan nilai pasar yang besar, China merupakan salah satu pasar paling potensial bagi sebagian besar brand-brand yang terdampak boikot. Bagi H&M sendiri, China merupakan pasar terbesarnya di samping Amerika Serikat dan Eropa.
Sekalipun dibuat ketar-ketir atas masifnya kampanye negatif tersebut, sejumlah brand tampaknya berhadapan dengan tuntutan dari pihak lainnya yang tidak kalah menimbulkan dilema. Yaitu kekuatan para investor yang berada di garis depan menuntut praktik bisnis berkelanjutan.
Aliansi Investor untuk Hak Asasi Manusia (IAHR) yang ikut dalam aksi menentang pelanggaran HAM di Xinjiang merupakan aksi kolektif yang memiliki anggota lebih dari 160 investor institusi dan organisasi lainnya. Keanggotan ini mewakili aset lebih dari US 5 triliun atau lebih dari Rp 72.000 triliun yang mereka kelola saat ini dan tersebar di 18 negara.
Selain IAHR, ada juga Interfaith Center on Corporate Responsibility yang berbasis di New York. Aliansi ini memiliki keanggotaan yang luas, termasuk kelompok agama, dana pensiun publik, serikat pekerja, dan sejumlah manajer aset lainnya, seperti Aberdeen Standard Investments.
Aliansi investor tersebut belum termasuk dua grup investasi besar asal Amerika Serikat, BlacRock dan Vanguard yang juga telah meneguhkan komitmennya pada nilai-nilai HAM.
Kedua perusahaan tersebut memegang aset hingga USD 16 triliun atau lebih dari Rp 230.000 triliun, nilai ini bahkan lebih besar dari nilai PDB China tahun lalu, USD 14,7 triliun. Kedua perusahaan tersebut menjadi pemegang saham mayoritas di banyak perusahaan yang mengalami tekanan di China, berdasarkan data Refinitiv.
Kedua perusahaan telah meningkatkan upaya mereka untuk berinvestasi dengan pendekatan Environmental, Social and Governance (ESG), yaitu prinsip filterisasi dengan berinvestasi pada entitas yang mengedepankan nilai-nilai penjagaan lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan yang baik.
Kedua lembaga investasi tersebut telah mempublikasikan banyak detail tentang keterlibatan mereka dan suara perwakilan di perusahaan portofolio, dan dengan memperkenalkan pendanaan baru menggunakan kriteria ESG untuk memilih perusahaan yang ingin didanai.
Seorang juru bicara BlackRock mencatat salam sebuah publikasi perusahaan yang terbaru, "Kegagalan menangani risiko terkait hak asasi manusia dapat bergema di seluruh rantai nilai perusahaan, yang dapat memengaruhi nilai pemegang saham." tulis publikasi tersebut.
Reporter: Abdul Azis Said
Lanjutkan Membaca ↓