Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadi Poernomo menilai, kunci penerimaan pajak negara bisa maksimal adalah pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Hadi menjelaskan, RUU KUP telah mencakup segala aturan yang bisa membuat direktorat jenderal pajak berada langsung di bawah Presiden. Sehingga kewenangannya diharapkan jadi lebih baik dan terarah.
“Kalau undang-undang sudah selesai, dan peraturan pelaksanaannya sesuai undang-undang ini pasti tercapai, bayangkan saja definisi pasal 35 (RUU KUP) semua pihak harus membuka dan menyambung sistemnya ke pajak,” katanya dalam Jaya Suprana Show, Selasa (28/9/2021).
Advertisement
Dengan demikian, yang ia sebut sebagai CCTV atau pengawasan pajak secara menyeluruh bisa dilaksanakan. Dengan keterbukaan informasi dari seluruh lembaga terkait, hal itu bisa membuka peluang penerimaan pajak lebih tinggi.
Karena, kata Hadi, para wajib pajak akan secara jujur menyampaikan jumlah pajak yang harus dibayarkannya. Sehingga diperkirakan angka penerimaan pajak akan terus meningkat.
“Ini udah gak ada rahasia lagi, jika diibaratkan ini ibarat menikah, saya bisa mengetahui seluruhnya, mana yang salah, nanti yang jujur dan gak jujur ketahuan,” katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Riwayat Aturan Ditjen Pajak
Selanjutnya, ia juga merinci tentang riwayat perjalanan terkait hal yang mengatur Direktorat Jenderal Pajak perlu ada di bawah Presiden. Bahkan, ia menyebutkan terkait integrasi sistem dan kewenangan Ditjen Pajak telah dibahas sejak 2001.
Tepatnya pada undang-undang nomor 19 tahun 2001 yang menyebutkan ‘mengembangkan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi yang online’.
Selanjutnya pada 2003 lalu, menurut penelitian yang dilakukan Guru Besar UGM, Miftah Toha dan Ekonom Indef Drajad H Wibowo juga telah melakukan penelitian kelembagaan DJP dan usulan lembaga tersebut ada di bawah Presiden.
Hadi menambahkan, pada UU nomor 28/2003 tentang APBN 2004 juga tercantum usulan tersebut secara eksplisit yang disampaikan Menpan RB pada masa itu ke Presiden melalui surat nomor B/59/M.PAN/1/2004 tanggal 15 Januari 2004 hal Usul Penyempurnaan Organisasi Departemen Keuangan.
Sejalan dengan ide tersebut, RUU KUP yang kemudian disahkan dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 secara implisit juga mengatur reformasi kelembagaan tersebut. Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengatur perlunya dibentuk bank data perpajakan. Dalam pasal tersebut diatur bahwa perlu adanya pengaturan pelaksanaan berbentuk peraturan pemerintah (PP).
“Nah ketentuan yang kami maksud UU ini diatur PP, gak boleh di sub delegasikan ke menteri, ini lah (cara) untuk (ditjen) pajak itu bisa naik tingkat,” katanya.
Sebagai Ketua BPK saat itu, Hadi menuturkan juga telah menyampaikan aspirasi ini ke hadapan presiden untuk menjalankan aturan pasal 35a RUU KUP sebenar-benarnya sebagai upaya according by law.
Bahkan, ia menuturkan, Presiden Joko Widodo pada masa kampanye-nya di tahun 2014 menyampaikan dalam Nawacita bahwa pajak ini akan berada langsung di bawah Presiden. Serta pada oktober 2014 juga memasukkannya sebagai salah satu upayanya.
Advertisement
Dianulir
Kemudian, ia mengisahkan, pada 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No 2/2015. Hal ini berlanjut hingga draf RUU KUP pada 2016 disampaikan kepada DPR yang mencakup bahwa Ditjen Pajak berada langsung di bawah presiden.
“Ini yang tentunya, mengacu dasar hukumnya menurut pendapat kami, wajib untuk dilaksanakan. Apalagi menteri keuangan, menpan, menkumham untuk melaksanakan surat presiden ini bisa secepatnya dilaksanakan untuk mengesahkan RUU tersebut,” katanya.
“Namun belakangan, Menteri Keuangan mengesahkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.01/2016 yang diduga menganulir jalannya reformasi kelembagaan DJP tersebut,” tulis keterangan Hadi.