Jokowi Tegaskan Indonesia Tak Lagi Ekspor Mineral Mentah Nikel, Bauksit, dan Tembaga

Menurut Jokowi, Indonesia sudah ratusan tahun bergantung pada ekspor bahan mentah.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 26 Jan 2022, 14:10 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2022, 14:10 WIB
20170113-Jokowi-Temui-Pelaku-Industri-Jakarta-AY
Presiden Joko Widodo memberi keterangan saat melakukan pertemuan dengan pelaku industri jasa keuangan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/1). Jumlah UMKM di Indonesia terbilang cukup besar, yaitu lebih dari 50 juta UMKM. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan komitmen pemerintah pada pembangunan ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi. Salah satu yang jadi fokus utama yakni peningkatan nilai tambah untuk produk mineral. Oleh karena itu, presiden pun mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah.

Jokowi menekankan, pandemi Covid-19 tidak boleh menghentikan transformasi besar ekonomi yang tengah dilakukan oleh pemerintah, yakni ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi.

Sebab, Indonesia disebutnya sudah ratusan tahun terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah ke luar negeri, utamanya ke Eropa sejak Nusantara masih berada di bawah kekuasaan VOC.

Oleh karenanya, Jokowi meminta seluruh perusahaan tambang nasional bisa mulai setop ekspor bahan mentah seperti nikel dan kemudian akan disusul mineral jenis lainnya.

"Ini harus kita hentikan. Kita sudah mulai dengan menghentikan ekspor nikel berupa bahan mentah dan menggantinya dengan bahan jadi dan setengah jadi. Setelah nikel, menyusul bauksit, tembaga, dan sebagainya," serunya dalam akun Instagram @jokowi, dikutip Rabu (26/1/2022).

Dia pun membuat hitung-hitungan keuntungan negara jika hanya menjual bahan mentah dibanding produk jadi. Jokowi mencontohkan ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah, yang hanya akan menghasilkan USD 1 miliar atau setara Rp 14-15 triliun.

"Setelah pelarangan ekspor bahan mentah itu, akhir tahun kemarin ekspor kita untuk besi baja, yang merupakan turunan dari nikel, menghasilkan USD20,8 miliar atau Rp 300 triliun. Dari Rp 15 triliun melompat menjadi Rp 300 triliun dan membuka lapangan pekerjaan yang banyak sekali," sebutnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Sejak 2019

Nikel
Ilustrasi Nikel

Adapun himbauan larangan ekspor bahan mineral dan menerapkan hilirisasi sebenarnya sudah cukup lama dikoarkan Jokowi. Hal ini pernah diutarakannya saat pemerintah gencar menyambut program industri mobil listrik di 2019 lalu.

Kala itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga sempat mengajak BUMN dan pengusaha swasta yang memiliki tambang harus membangun industri mineral turunan. Salah satunya kobalt yang turunannya bisa menjadi 15 produk, serta asam sulfat dan juga nikel yang bisa digunakan untuk campuran lithium baterai kendaraan listrik.

"Sehingga desain besar secara jangka panjang ke depan untuk membangun industri mobil listrik ini bisa tercapai," kata Jokowi

Kunci pengembangan mobil listrik adalah baterai. Dengan sumber bahan baku yang ada di dalam negeri maka komoditas mineral yang bisa dijadikan bahan baku tidak perlu diekspor lagi.

"Kalau kita bahannya ada, ngapain kita ekspor mineral. Buat saja di sini," tuturnya.

Menurut Jokowi, jika teknologi mobil listrik belum bisa dikuasai maka bisa menggandeng mitra yang sudah memumpuni, dengan begitu transformasi besar perekonomian Indonesia bisa terjadi melalui pengembangan kendaraan listrik.

"Ini strategi bisnis harus dirancang sehingga bisa terealisasi karena produksi nikel kita terbesar dunia termasuk nikel ore yang rendah yang banyak mengandung kobalt," imbuh dia.

 

Smelter

KESDM Beri Antam Rekomendasi Perpanjangan Ekspor 2018
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyetujui rekomendasi perpanjangan ekspor untuk Antam tahun ini. Untuk nikel kadar rendah sebesar 2,7 juta wet metric ton (wmt) dan bauksit tercuci 840 ribu wmt.

Rencana larangan ekspor mineral mentah sebenarnya bukan isu baru. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan sempat menargetkan, ekspor mineral mentah (bijih) tidak lagi dilakukan pada 2022.

Penghentian ekspor tersebut seiring dengan beroperasinya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Pelarangan ekspor mineral mentah bahkan sudah tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dan berlaku 5 tahun sejak regulasi itu diundangkan.

Namun, karena fasilitas smelter belum memadai, industri pertambangan belum siap melaksanakannya. Sehingga kebijakan pelarangan tersebut diundur sampai 2022.

Targetnya, pada 2022 ini akan ada 41 unit smelter yang beroperasi. Terdiri dari smelter nikel sebanyak 22 pabrik, bauksit 6 pabrik, besi 4 pabrik, timbal dan seng 4 pabrik, tembaga dan lumpur anoda masing-masing 2 pabrik, dan mangan 1 pabrik smelter.

 

Paling Lambat Juni 2023

Setelah dilakukan kajian lebih lanjut, Kementerian ESDM memastikan ekspor mineral mentah bauksit dan logam paling lama berlaku hingga Juni 2023. Hal itu diutarakan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin.

Ketentuan ini pun merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Merujuk Pasal 46-47, dijelaskan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dapat melakukan penjualan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed) dengan kadar 42 persen atau lebih ke luar negeri, paling lama 10 Juni 2023. Hal serupa juga berlaku untuk komoditas mineral logam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya