Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan berbagai upaya dalam rangka mengendalikan lonjakan harga minyak goreng di pasaran.
Salah satunya dengan menerapkan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter dan mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang diberlakukan pada 1 Februari 2022.
Baca Juga
Namun, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Riyanto, menilai kebijakan tersebut tidak efektif karena menimbulkan kelangkaan di beberapa daerah.
Advertisement
“Sejauh ini kebijakan itu tidak efektif. Bahkan di beberapa tempat terjadi kelangkaan,” kata Riyanto kepada Liputan6.com, Selasa (2/2/2022).
Dia menilai masalahnya distributor telah membeli harga minyak goreng di atas HET. Sehingga kalau dipaksa menjual pada HET mereka akan rugi. Maka, pilihan mereka akhirnya menahan stok dulu.
“Jadi, langka di pasar. Harusnya, distributor yang sudah mengambil minyak goreng dari produsen di atas HET ya harus diberikan kompensasi agar tak merugi,” ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Subsidi
Disamping itu, Riyanto menyarankan jika tidak maka HET harus diikuti pemberian subsidi sebesar selisih antara harga di tingkat produsen atau di tingkat distributor.
Menurut dia, memaksa produsen atau distributor menjual dengan HET tanpa diikuti kebijakan kompensasi atau subsidi tak akan pernah efektif, karena ongkos produksinya tak tertutupi.
“Mengapa ongkos produksi minyak goreng naik ? Ini karena harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng harganya naik. Kenapa harga CPO naik? Supply-nya relatif tetap, tetapi demand-nya naik. Kenapa demand CPO naik ? Sejak penerapan kebijakan B10 hingga B30 permintaan CPO untuk energi naik terus,” pungkas Riyanto.
Advertisement