Liputan6.com, Jakarta Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan, mahalnya harga Crude Palm Oil (CPO)Â berdampak pada konsumsi dan ekspor yang menurun.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono, memaparkan, harga CPO rata-rata CIF Rotterdam pada bulan Februari 2022 mencapai USD 1.522 per ton, USD164 lebih tinggi dari harga bulan Januari sebesar USD 1.358 per ton, USD 469 lebih tinggi dibandingkan dengan harga Februari 2021 sebesar USD 1.053 ton. Harga KPBN FOB untuk Februari adalah Rp15.532/kg berbanding Rp14.511 di bulan Januari.
Baca Juga
Harga yang tinggi tersebut disebabkan oleh produksi minyak nabati dunia yang tidak seperti diharapkan, terutama untuk kedelai di Amerika Selatan.
Advertisement
Disisi lain, produksi CPO Indonesia pada Februari 2022 diperkirakan sebesar 3.505 ribu ton dan PKO sebesar 302 ribu ton yang lebih rendah dari produksi bulan Januari sebesar 3.863 ribu ton untuk CPO dan 365 ribu ton untuk PKO karena faktor musiman.
"Harga yang sangat tinggi berdampak pada konsumsi dan ekspor. Konsumsi dalam negeri untuk pangan bulan Februari 2022 sebesar 489 ribu ton adalah 17,3 persen lebih rendah dari bulan Januari sebesar 591 ribu ton. Konsumsi oleokimia bulan Februari sebesar 178 ribu ton dan biodiesel 710 ribu ton yang dibandingkan dengan konsumsi Januari masing masing turun sebesar 2,7 persen dan 3 persen," kata Mukti, Selasa (19/4/2022).
Berdasarkan data Gapki, total ekspor sawit bulan Februari mencapai 2.098 ribu ton lebih rendah dibandingkan dengan bulan Januari 2.179 ribu ton (-3,7 persen). Walaupun harga bergerak naik, nilai ekspor minyak sawit bulan Februari yang mencapai USD 2.799 juta, lebih rendah 0,6 persen dari nilai bulan Januari sebesar USD 2.816 juta.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penurunan Ekspor
Penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan Afrika sebesar 153,3 ribu ton dari 278,1 ribu ton di bulan Januari menjadi 134,7 di bulan Februari (-54 persen). Penurunan yang cukup besar juga terjadi untuk tujuan Filipina sebesar -55 persen dari 63,8 ribu ton di bulan Januari menjadi 28,7 ribu ton di bulan Februari.
"Ekspor untuk tujuan Rusia turun 7,8 persen dari 69,6 ribu ton pada Januari menjadi 64,2 ribu ton pada Februari. Ekspor ke Ukraina fluktuatif dengan rata-rata bulanan pada 2021 sebesar 25 ribu ton Pada Januar 2022, ekspor ke Ukraina turun menjadi hanya 256 ton sedangkan pada Februari pulih dan mencapai 15,28 ribu ton," ujarnya.
Sementara, ekspor untuk tujuan Belanda, China, India, Bangladesh dan Malaysia naik cukup besar, Ekspor ke Belanda di bulan Februari mencapai 184,41 ribu ton naik dari 128,27 ribu pada Januari (+42,21 persen).
Sedangkan ekspor untuk China mencapai 240,3 ribu ton naik dari 197,4 ribu ton (+21,7 persen), untuk India mencapai 290,2 ribu ton naik dari 249,9 ribu ton (+15,12 persen), untuk Bangladesh mencapai 125.0 ribu ton naik dari 57,6 ribu ton (+43,9 persen) dan untuk Malaysia mencapai 229,5 ribu ton naik dari 150,4 ribu ton(+27,2 persen).
Demikian, kata Mukti, BMKG memperkirakan cuaca sepanjang 2022 akan normal, tetapi situasi geopolitik menimbulkan berbagai ketidakpastian, sehingga meningkatkan upaya efisiensi dan produktivitas merupakan tindakan bijak yang harus dipertahankan.
Â
Advertisement
Harga CPO Mahal, Pengusaha Justru Tak Senang
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, mengatakan naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit tidak membuat para pengusaha senang.Â
"Satu sisi semua mengatakan bahwa industri sawit menghadapi windfall (rezeki nomplok), kita juga tidak terlalu senang dengan situasi seperti ini. Karena excess (kelebihan)-nya justru kemana-mana," kata Ketua Gapki dalam acara buka puasa Gapki dengan stakeholder kelapa sawit, Selasa (19/4/2022).
Menurutnya, memang situasi global yang tidak pasti ini membuat harga komoditas naik semua, termasuk minyak nabati juga mengalami kenaikan.
"Kita menghadapi situasi yang challenging. Oleh karena itu, hal yang sangat penting adalah kita semua saling memberikan informasi dan pemahaman supaya situasi yang challenging ini bisa manage dengan baik," ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, aspek supply dan demand tak terpisahkan dalam dunia usaha, termasuk dalam usaha minyak sawit.
Ketua Gapki mengungkapkan alasan harga-harga komoditas menjadi naik, khususnya minyak nabati dikarenakan adanya pengetatan supply lantaran kegagalan panen, dan faktor perang Rusia-Ukraina.
"Kenapa harga-harga  tinggi? karena supply demand nabati, terjadi supply yang ketat karena faktor kegagalan di panen dan faktor perang Ukraina-Rusia," ucapnya.
Supply Ketat
Menurut Dia, sebenarnya sawit Indonesia tidak berkontribusi terlalu baik (excellent). Dalam artian bahwa supply minyak nabati global mengalami pengetatan, begitupun dengan supply minyak sawit.
"Kalau produksi sawit melimpah ruah agak mending, tapi supply ketat maka produksi sawit kita tidak seperti yang kita harapkan," ujarnya.
Berdasarkan hasil analisis Gapki, selama dua bulan pertama tahun 2022 yakni periode Januari-Februari produksi minyak sawit justru turun, yang berdampak pda ekspor juga turun.
"Kita alih-alih  bisa membuat situasi global agak mending ya memang secara global situasinya seperti ini, beberapa bulan ke depan kita masih akan menghadapi situasi ini.  Harus kita manage supaya tidak excess (kelebihan)," pungkasnya.Â
Advertisement