UBS Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China Gara-gara Lockdown Covid-19

UBS memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi China tahun ini karena dampak lockdown Covid-19 di negara itu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 25 Mei 2022, 13:11 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2022, 13:11 WIB
Beijing Perluas Kebijakan Kerja dari Rumah
Seorang perempuan yang mengenakan pelindung wajah dan masker beristirahat bersama orang lain di ruang terbuka hijau di Beijing pada Senin, 23 Mei 2022. Beijing memperpanjang perintah bagi pekerja dan siswa untuk tinggal di rumah dan memerintahkan pengujian massal tambahan pada hari Senin untuk membendung kasus COVID-19 yang kembali meningkat di ibu kota China. (AP Photo/Andy Wong)

Liputan6.com, Jakarta - Bank investasi multinasional yang berbasis di Swiss, UBS memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi China tahun ini hingga 120 basis poin menjadi 3 persen, karena pembatasan ketat Covid-19 di negara itu menghambat sebagian besar aktivitas bisnis.

Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (25/5/2022) pemangkasan itu datang sehari setelah JP Morgan menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China hingga setahun penuh menjadi 3,7 persen dari 4,3 persen.

Menurut UBS, kontraksi yang lebih dalam dari perkiraan sekarang kemungkinan terjadi pada ekonomi China di pada ini karena lockdown Covid-19.

Diketahui bahwa lockdown Covid-19 di kota-kota besar di China telah mengganggu berbagai rantai pasokan global dan mendorong penurunan pada perekonomian negara itu.

"Pembatasan yang masih ada dan kurangnya kejelasan tentang strategi keluar dari kebijakan Covid-19 saat ini kemungkinan akan mengurangi kepercayaan perusahaan dan konsumen dan menghambat pelepasan permintaan yang terpendam," kata analis UBS, Tao Wang.

Shanghai pada Sabtu lalu (21/5) mendorong rencana untuk memulihkan sebagian jaringan transportasinya dalam langkah besar pelonggaran lockdown Covid-19 selama berminggu-minggu, sementara pusat keuangan Beijing masih memberlakukan pembatasan karena wabah yang telah berlangsung selama sebulan.

Namun, Wang mengatakan pelonggaran pembatasan Covid-19 di China tidak akan secepat pada tahun 2020, mengingat sifat penyebaran varian Omicron yang cepat.

Goldman Sachs sebelumnya juga memangkas perkiraan mereka untuk PDB China menjadi 4 persen setelah data untuk bulan April menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi karena Covid-19 membatasi aktivitas bisnis. 

Perkiraan PDB China baru ini bahkan lebih jauh di bawah target pertumbuhan sekitar 5,5 persen yang diumumkan pemerintah China untuk tahun ini di bulan Maret 2022.

"Mengingat kerusakan ekonomi terkait Covid-19 pada kuartal kedua, kami sekarang memperkirakan pertumbuhan China menjadi 4 persen tahun ini (dibandingkan 4,5 persen sebelumnya),” tulis analis Hui Shan dan tim di Goldman dalam sebuah laporan, dikutip dari CNBC International.

"Data yang lemah menyoroti ketegangan antara target pertumbuhan China dan kebijakan nol-Covid-19 yang merupakan inti dari prospek pertumbuhan China," beber analis Goldman.

Pemulihan Ekonomi China Diprediksi Bakal Lamban Karena Covid-19

sebagian Beijing Hentikan Pengujian Massal Covid Harian
Pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menangani kantong sampah di tempat pengujian virus corona di Beijing, Kamis (19/5/2022). Sebagian wilayah Beijing menghentikan pengujian massal harian yang telah dilakukan beberapa minggu terakhir, tetapi banyak tempat pengujian tetap sibuk karena syarat tes negatif COVID-19 dalam 48 jam terakhir untuk memasuki beberapa bangunan di ibu kota China. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sejumlah ekonom memprediksi ekonomi China tidak akan pulih dengan cepat dari wabah terbaru Covid-19. Para ekonomi ini memprediksi pemulihan ekonomi di China bakal berlangsung lamban. 

"Untuk China, cerita utama di sini adalah kita telah melihat cahaya di ujung terowongan. Dislokasi rantai pasokan terburuk di China dari penguncian Covid tampaknya akan berakhir," ujar Robin Xing, kepala ekonom China Morgan Stanley, dikutip dari CNBC International, Selasa (24/5/2022).

"Tapi kami juga berpikir jalan menuju pemulihan kemungkinan akan lambat dan bergelombang," kata Xing.

Selama akhir pekan, distrik pusat kota Shanghai kembali melarang warga meninggalkan kompleks apartemen mereka untuk melakukan tes Covid-19 massal.

Lebih banyak wilayah di ibu kota Beijing juga meminta warga bekerja dari rumah ketika jumlah kasus harian lokal meningkat - mencapai 83 kasus pada Minggu (22/5/2022) - tertinggi untuk wabah terbaru di kota itu.

Ketika pandemi Covid-19 pertama kali melanda China pada tahun 2020, negara itu sempat bangkit dari kontraksi kuartal pertama menjadi tumbuh pada kuartal kedua.

Tahun ini, China menghadapi varian Covid-19 yang jauh lebih menular, pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah secara keseluruhan, dan lebih sedikit stimulus pemerintah.

Namun sekitar seminggu lalu, Shanghai mengumumkan rencana untuk keluar dari lockdown — dan dibuka kembali sepenuhnya pada pertengahan bulan Juni 2022.

"Banyak wilayah dan kota telah memperketat pembatasan pada tanda pertama kasus lokal," terang Meng Lei, ahli strategi ekuitas China di UBS Securities, dalam sebuah catatan pekan lalu.

"Studi kasus kami di Shanghai, Jilin, Xi'an, dan Beijing menunjukkan gangguan logistik dan rantai pasokan adalah titik nyeri terbesar yang memengaruhi dimulainya kembali produksi," ungkapnya. 

"Oleh karena itu, dimulainya kembali pekerjaan kemungkinan akan dilakukan secara bertahap daripada terjadi dalam semalam," lanjut dia.

Lockdown Covid-19 Bikin Investasi Asing di China Bakal Tak Mulus

COVID-19 Meningkat, Beijing Perpanjang WFH
Warga mengobrol di dekat Menara Genderang yang ikonik di Beijing (24/5/2022). Beijing memperpanjang perintah bagi pekerja dan pelajar untuk tinggal di rumah dan memerintahkan pengujian massal tambahan pada Senin ketika kasus COVID-19 meningkat di ibu kota China. (AP Photo/Ng Han Guan)

Upaya peredaman Covid-19 di China bakal menghambat investasi asing ke negara itu selama bertahun-tahun yang akan datang karena pembatasan perjalanan menghalangi jalur untuk proyek-proyek.

Hal itu diungkapkan oleh Presiden Kamar Dagang Amerika Serikat (American Chamber of Commerce), Michael Hart. 

Dilansir dari US News, Michael Hart menyebut ada beberapa tanda perusahaan-perusahaan Amerika akan meninggalkan pasar China, tetapi proses penelitian dan uji tuntas selama bertahun-tahun untuk proyek-proyek telah tertunda.

"Kami sangat prihatin dengan investasi yang sedang berlangsung dan di masa depan oleh AS dan perusahaan asing lainnya ke China karena orang tidak bisa mendapatkan akses dalam hal perjalanan," kata Hart, dalam sebuah acara peluncuran laporan tahunan Kamar Dagang AS.

"Sayangnya lockdown Covid-19 tahun ini dan pembatasan selama dua tahun terakhir akan berarti tiga, empat, lima tahun dari sekarang, kita akan melihat penurunan investasi, kemungkinan besar," bebernya.

Selain situasi Covid-19 di China, laporan Kamar Dagang AS juga mengutip pembatasan akses pasar, peraturan yang diskriminatif dan persyaratan keamanan siber yang mengganggu sebagai salah satu perhatian utama bisnis di AS.

Pekan lalu, Kamar Dagang AS merilis survei kilat yang memperingatkan "eksodus" staf asing di China karena tindakan Covid-19 dan lockdown yang sedang berlangsung, mengatakan bahwa 58 persen anggota telah menurunkan proyeksi pendapatan mereksa untuk tahun ini.

Infografis Boleh Lepas Masker Kode Keras Pandemi ke Endemi Covid-19
Infografis Boleh Lepas Masker Kode Keras Pandemi ke Endemi Covid-19 (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya