Cadangan Timah Indonesia Akan Habis 10 Tahun Lagi

Indonesia diketahui memiliki cadangan timah yang cukup melimpah yang terpusat di Bangka Belitung.

oleh Arief Rahman H diperbarui 22 Jul 2022, 20:45 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2022, 20:45 WIB
Proses Produksi Timah Terbesar Dunia di Unit Metalurgi Muntok di Bangka Belitung. Foto: Liputan6.com/Arief Rahman
Proses Produksi Timah Terbesar Dunia di Unit Metalurgi Muntok di Bangka Belitung. Foto: Liputan6.com/Arief Rahman

Liputan6.com, Jakarta Indonesia diketahui memiliki cadangan timah yang cukup melimpah yang terpusat di Bangka Belitung. Namun, cadangan itu diasebut akan habis dalam kurun waktu 10 tahun lagi.

Provinsi Bangka Belitung masuk dalam 'Tin Belt' atau sabuk timah global. Menurut peta sebaran timah, Bangka Belitung menjadi ujung dari Tin Belt tersebut dengan pasokan timah yang cukup banyak.

Kendati begitu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan cadangan yang ada tersebut akan habis dengan cepat. Apalagi dengan adanya sederet ancaman yang menyertai.

"Pertama, (target produksi) timah di indonesia tidak besar, hanya di angka sekian ribu ton, dan mudah-mudahan bisa bertambah karena ini menjadi sumber pendapatan utama provinsi Babel. Yang kedua, dengan target 70 ribu ton dalam setahun maka 10 sampai 12 tahun lagi akan habis," kata dia dalam seminar 'Timah Indonesia dan Penguasaan Negara', Jumat (22/7/2022).

Disamping itu, banyaknya izin usaha pertambangan (IUP) yang tak memenuhi syarat dan penadah hasil tambang ilegal juga jadi tantangan Ia meminta ada solusi yang bisa dijalankan.

"Maka dari itu seperti yang dikatakan pak dirjen nantinya akan dikelola oleh suatu lembaga misalya BUMD yang bisa jadi salah satu badan usaha yang bisa mengelola hasil tambang dari penambang-penambang terutama tambang rakyat," ujarnya.

Tantangan lainnya yang menghambat produksi adalah masih kurang idealnya tata niaga dalam penambangan timah. Ia juga memandang ini belum menjadi perhatian pemerintah pusat.

"Tadi sudah disampaikan pak ridwan masuk dalam simbara jadi memang pemerintah pusat sudah aware dengan kondisi timah ini tidak lagi menjadi industru yang strategis tapi menjadi industri yang kritis karena cadanganya hanya 800 ribu ton," kata dia.

 

Larangan Ekspor

pt-timah-130909b.jpg
PT Timah

Pemerintah berencana melarang ekspor timah dalam beberapa tahun kedepan. Tapi, penyerapat domestik jadi masalah karena dinilai masih sangat rendah.

"Dimana produksi timah ini tidak dijual lagi dalam bentuk pasir tapi dalam bentuk batangan saya kemarin sudah berdiskusi dengan PT Timah dimana perusahaan melalyi anak usahanya PT Timah Industri sudah melakukan hilirisasi yang sangat besar tetapi di sisi lain pasar du dalam negeri tidak mampu," ungkapnya.

"Justru pasar dalam negeri malah mengimpor produknya dari china ini menjadi masalah, kalau sampai di dilarang apakah produkai dalam negeri mampu untuk menerima jamgan sampai nanti pelarangan ekspor akan mematikan industri timah," tambah dia.

Faktor selanjutnya adalah terkait hilirisasi timah yang masih cukup lamban, meski sudah ada, tapi masih jumlahnya masih terbatas. Mamit menekankan perlunya konsistensi penegakan hukum terkait dengan pelanggaran yang terjadi.

"Dan perlunya ketegasaan dari aparat terkait adanya hasil timah, karena jangan sampai negara lain yang menikmati adanya pelarangan dan jadinya ilegal," tukasnya.

 

Tata Kelola Belum Ideal

Segmen 1: Tambang Timah Ilegal hingga Perajin Gula Merah Untung
Polres Bangka merazia penambang timah ilegal, hingga perajin gula merah justru menuai keuntungan saat kemarau.

Tata kelola pertambangan timah diakui masih menyisakan pekerjaan rumah. Bahkan, hal ini merugikan industri dan negara.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyebut akan mengerahkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BKPK). Nantinya akan dilakukan audit di menyeluruh pada tata kelola timah.

"Tata kelola timah kita belum ideal, pemerintah kemarin dalam raapt menugaskan BPKP untuk melaukukan audit terhadap tata kelola timah," katanya dalam seminar 'Timah Indonesia dan Penguasaan Negara', Jumat (22/7/2022).

Ridwan mengatakan langkah ini jadi buti hadirnya pemerintah untuk memperhatikan industri tambang timah. Harapannya, bisa menmbantu penyelesaian sejumlah masalah yang ada di sektor tambang timah kedepannga.

"Secara sederhana dalam rapat kami juga mengeluarkan surat efara per 1 Juli 2022 untuk semua smelter harus melaporkan sumber timahnya. Artinya ini adlah bentuk penguasaan yang ingin kita wujudkan dalam waktu dekat," ujarnya.

Dengan pelaporan yang dilakukan, berarti akan ada pemantauan alur distribusi dari hulu-hilir. Pemerintah akan mengintegrasikannya dengan sistem informasi batu bara dan mineral (Simbara) yang telah dimiliki.

Timah nantinya akan termasuk dalam sistem tersebut. Harapannya, pemantauan akan lebih detail dengan adanya digitalisasi yang dilakukan.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menyatakan status timah sebagai mineral kritis, dari sebelumnya mineral strategis. Tujuannya untuk memberikan perhatian lebih terhadap mineral timah.

"Liberalisasai tata kelola timah ini telah timbulkan dampak saperti saat ini, satu sisi bagus, perusahaan swasta meningkat, pembukaan kerja juga meningkat. Namun, sebagaimana dalam bisnis yang berjalan selalu ada dmapak negatifnya," ungkapnya

 

Rugi

Proses Produksi Timah Terbesar Dunia di Unit Metalurgi Muntok di Bangka Belitung. Foto: Liputan6.com/Arief Rahman
Proses Produksi Timah Terbesar Dunia di Unit Metalurgi Muntok di Bangka Belitung. Foto: Liputan6.com/Arief Rahman

Lebih lanjut, Ridwan mengungkap ada kerugian yang harus ditanggung perusahaan pengelola tambang timah. Ini dipeparah dengan maraknya tambang ilegal.

"Pemerintah berusaha keras menegakkan pengusahaan timah ini melalui cegah bocornya bisnis timah ilegal. karena isu ilegal ini merugikan negara secara penerimaan negara. bisnis ini merugikan badan usaha resmi," ujarnya.

"Mengutip pernyataan PT Timah, setiap tahun rugi Rp2,5 triliun akibat kegiatan ilegal," tambah dia.

Dampak dari tambang ilegal disinyalir membuat sekitar 123 ribu hektar lahan tambang menjadi kritis. Jika tak segera ditangani, hal ini bakal menjadi lebih parah kedepannya.

"Ini ada biaya yang harus dikeluarkan, dan inilah yang harus menjafi titik berat perhatian kita. Dimapping itu saya mengamini bahwa timah belum tergantikan keneradaannya dengan mineral atau logam manapun,"papar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya