Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengatakan sektor ritel modern mengalami masa-masa yang paling berat selama pandemi Covid-19. Padahal sektor ini menjadi salah satu lokomotif perekonomian nasional.
"Ritel ini lokomotif yang positif, kalau ritel ada masalah, dari pabrik, pusat belanja pasti terganggu," kata Budihardjo di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, Senin (15/8/2022).
Baca Juga
Selama pandemi kata Budi banyak pengusaha yang tidak bisa membayar sewa tempat hingga supplier. Namun dengan semakin terkendalinya kasus Covid-19 dan pelonggaran kebijakan, para pengusaha mulai kembali bangkit.
Advertisement
"Pandemi ini tidak bisa dijadikan sebagai ketakutan, harus berani," kata dia.
Maka, pada tanggal 15 Agustus ini, pihaknya memberanikan diri untuk memulai kembali kebangkitan pengusaha ritel. Bahkan Hippindo menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai Hari Belanja Diskon Indonesia (HBDI) pertama.
"Tanggal 15 ini kita bangkit lagi, toko yang tutup kita buka lagi dan kita mulai lagi kerja sama ritel dengan supplier," kata Budihardjo.
"15 Agustus ini juga kami cetuskan, kami beranikan menjadi Hari Ritel Modern Indonesia," sambungnya.
Dia berharap, kebangkitan sektor ritel modern ini bisa kembali menjadi penyangga perekonomian Indonesia. Menjadi penggerak ekonomi nasional karena didalamnya bisa mengungkit banyak sektor.
"Kita juga harus sehat global dan regional. Indonesia harus mampu menjadi lokomotif dunia agar merek lokal dan global bisa sama sama memberikan pemulihan perdagangan dunia," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
APBN 2022 Surplus 7 Bulan Berturut-turut, Ekonom: Bukan Prestasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada bulan Juli 2022 mengalami surplus sejumlah Rp 106,1 Triliun. Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, pada Kamis 11 Agustus 2022 lalu.
Sebelumnya, pada bulan Juni 2022 APBN juga dalam posisi yang surplus sejumlah Rp 73,6 Triliun. Terdapat kenaikan surplus APBN selama satu bulan sejumlah Rp 32,5 Triliun atau sebesar 44,15 persen.
Dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2021 lalu yang defisit Rp 336,9 Triliun atau sebesar 2,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka memang mencerminkan sesuatu yang positif di satu sisi.
"Ibaratnya adalah seorang yang punya uang berlebih tapi tidak mampu membelanjakan barang/jasa yang dibutuhkan, padahal kebutuhan sehari-hari itu ada dan belum dicukupi," kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/8/2022).
"Namun demikian, disisi yang lain surplus APBN tidak bisa dinilai sebagai sebuah prestasi sedangkan defisit jelas sebagai sesuatu yang buruk dalam mengelola keuangan negara," lanjut dia.
Menurut Defiyan, surplus pun bukan sesuatu hal yang positif disebabkan tidak terjadinya percepatan dalam pembelanjaan pembangunan sementara pendapatan negara dari sumber pajak mengalami peningkatan.
"Kecepatan dalam pengeluaran pendapatan negara dalam mengakselerasi peningkatan konsumsi untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi tampak tidak terjadi selama Triwulan II Tahun 2022," jelas dia.
Â
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tidak Efisien
Dalam teori ekonomi makro, lanjut Defiyan, surplus ini merupakan bentuk dari ketidakefektifan dan ketidakefisienan otoritas ekonomi dan moneter dalam melakukan akselerasi program-program pembangunan, apalagi ditambah dengan terjadinya pengendapan dana pada Pemerintah Daerah di bulan Juni 2022 sejumlah Rp220,95 triliun.
Artinya, koordinasi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan (eksekusi) anggaran dalam mendanai program pembangunan antar pemerintah pusat dan daerah mengalami permasalahan.
"Jika, surplus ini tidak terlalu besar, maka kontribusi sektor konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada TW II/2022 akan bisa lebih besar dari 5,44 persen, minimal bisa mencapai 5,7-5,9 persen dengan asumsi kontribusi sektor konsumsi sama dengan TW II/2021 yang sebesar 3,17 persen," tutup dia.