Liputan6.com, Bali - Cita-cita luhur untuk mengentaskan kemiskinan jika dikaitkan sebuah investasi rasanya bak jauh panggang dari api. Ya, sulit melakukan sebuah aksi sosial juga dibanderoli iming-iming sebuah kegiatan berbau profit. Faktanya pemanasan menuju Konferensi TBN Asia 2022 di Seminyak Bali pekan ini, memperlihatkan ironisme itu bisa dinetralkan.
Bertempat di Hotel Trans, pada Rabu (21/9/2022), Tranformational Business Network Asia (TBN Asia) menggelar welcome dinner bagi para peserta konferensi yang akan diselenggarakan 22-24 September 2022.
Helatan yang diikuti para investor dan para penerima proses penanaman modal tersebut, diwarnai aura positif yang menggambarkan semangat dan keintiman untuk berbagi.
Advertisement
Puluhan sosok sentral yang akan jadi pembicara dalam konferensi berdurasi tiga hari itu berkumpul dengan awak media dan figur-figur pendukung gerakan sosial ini.
Pembicaraan mengapung berkisar tentang bagaimana para sosok pendidik, inovator, dan pemilik modal bersatu untuk mengangkat kesejahteraan kaum menengah dan bawah di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Steffina Yuli, dari platform pendidikan Kipin ClassRoom, misalnya, terus mengupayakan format aplikasi berbasis digital tanpa internet terus berkembang untuk meningkatkan minat baca anak-anak usia sekolah dasar.
Koleganya yang sesama asal Jakarta, Syaiful Lokan, juga memiliki semangat yang sama untuk mencerdaskan anak-anak lewat 'I Can Do', sebuah wahana belajar alternatif oleh guru-guru lewat gaming.
Steffina dan Syaiful adalah dua dari sekian banyak inovator yang menjalankan sebuah bisnis sosial seperti halnya TBN Asia, yang berstatus nirlaba itu.
Mereka secara kreatif dengan memanfaatkan penanaman modal beraroma Corporate Social Responsibility dari para investor. Aksi ini pada akhirnya akan menipiskan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, karena memberi layanan sebagai social enterprises bagi kaum tak mampu.
Berawal dari Reformasi Aturan Perpajakan
Petinggi dan satu di antara pendiri TBN Asia, Dr. Kim Tan, menepis isu bahwa niat luhur itu adalah sebuah utopia.
Ia menjelaskan, kesenjangan ekonomi yang besar adalah masalah nyata yang akan jadi problem di Asia Tenggara dan dunia bila memang dibiarkan terus membesar.
"Hal itu harus ditipiskan dengan mengungkit kemampuan ekonomi golongan bawah lewat pertolongan kaum yang lebih mampu,” katanya.
Kim sendiri adalah produk sukses dari upaya tersebut di masa lalu, ketika pria asal Malaysia itu berhasil mengangkat harkat dan martabat keluarganya, yang berimigrasi dari Tiongkok, dengan memanfaatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di Inggris.
Menurutnya, pergerakan sosial ini layak disebut investasi karena tanpa kemunafikan tetap diakuinya akan memberikan keuntungan non-finansial yang besar bagi pemilik modal.
Para pembicara asal Thailand dan India juga mengamini pernyataan di atas saat mereka mengungkap reformasi perpajakan di negara mereka.
Pemerintah membuat aturan yang memungkinkan pengusaha mendapatkan reduksi pajak sebesar 2 persen bila nilai setara pengurangan pajak itu ditanamkan pada pengembangan usaha kecil.
Dr. Poonchai Chitanuntavitaya, yang berasal dari Negeri Siam menyebut organisasi yang dipimpinnya, Social Enterprise Thailand, mengaplikasikan aturan perpajakan itu dengan melakukan investasi para petani dan nelayan di kawasan selatan negaranya.
Poonchai menegaskan, keuntungan ekonomi yang didapat dari manuver ini tidak seberapa dibanding benefit sosial yang muncul saat kemandirian masyarakat di wilayah itu tumbuh secara berkelanjutan. So, siapa bilang rasa kesetiakawanan sosial sudah hilang dari dunia ini? Simak terus laporan dari konferensi online-offline TBN Asia 2022 di Bali ini. (Darojatun/KLY).
Advertisement