Perkembangan Pasar Karbon Negara Berkembang Tersendat Pembiayaan

Ketua forum B20 Indonesia, Shinta Kamdani menilai, pasar karbon memiliki peranan penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 24 Sep 2022, 09:46 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2022, 09:46 WIB
B20-G20 Dialoque: Trade and Investment Task Force, Jumat, 23 September 2022 di Labuan Bajo, NTT (Foto: Liputan6.com/Pipit I.R)
B20-G20 Dialoque: Trade and Investment Task Force, Jumat, 23 September 2022 di Labuan Bajo, NTT (Foto: Liputan6.com/Pipit I.R)

Liputan6.com, Jakarta - The Business 20 atau B20 atau Forum Bisnis dalam Presidensi G20 turut menyoroti perkembangan pasar karbon (carbon market) utamanya di negara berkembang (emerging market).

Ketua forum B20 Indonesia, Shinta Kamdani menilai, pasar karbon memiliki peranan penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Pasar karbon memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk mendukung upaya dekarbonasi sekaligus membantu pembiayaan untuk proyek-proyek terkait pengurangan jejak karbon.

Shinta mencatat terdapat permintaan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) pada 2030 diperkirakan tumbuh enam kali lipat dibanding volume pada 2021 senilai USD 2 miliar.

“Kondisi itu mestinya menjadi peluang bagi negara-negara, terutama emerging market untuk berkontribusi secara substansial bagi pasokan kredit karbon. Namun negara berkembang masih belum dapat menangkap potensi pasar karbon karena keterbatasan akses pendanaan, pengetahuan, dan praktik terbaik yang dapat dibantu oleh negara maju,” kata Shinta dalam B20-G20 Dialogue: Trade and Investment Task Force di Hotel Meruorah, Labuan Bajo, NTT, Jumat, 23 September 2022.

Shinta menilai, jika isu ini tak segera ditindaklanjuti, dunia akan kehilangan kesempatan untuk membantu negara-negara berkembang tumbuh sembari bertransisi ke ekonomi rendah karbon melalui pasar karbon.

Anggota gugus tugas perdagangan dan investasi B20 telah bekerja dengan hati-hati untuk mengatasi masalah ini. Di bawah komando bos grup Triputra, Arif Rachmat, satgas tersebut telah merumuskan rekomendasi kebijakan utama. Kebijakan-kebijakan itu meliputi pengenalan tata kelola multilateral perdagangan dan investasi global pasca pandemi yang terbuka, adil, inklusif dan efisien termasuk melalui reformasi WTO.

Kemudian memfasilitasi inovasi, digitalisasi, dan adopsi teknologi untuk mendukung pembangunan internasional dan mitigasi krisis global di masa depan.

Selanjutnya, memperkuat dukungan untuk mencapai inklusivitas dalam rantai nilai pasokan global. Serta menjadikan perdagangan dan investasi sebagai penggerak untuk pembangunan yang lebih hijau dan berkelanjutan sejalan dengan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG).

Sri Mulyani Hitung Ulang Waktu Tepat Terapkan Pajak Karbon

Menkeu Sri Mulyani Jelaskan APBN 2023 di Hadapan DPD RI
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat dengan Komite IV DPD RI di Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/8/2022). Rapat tersebut membahas RUU APBN tahun anggaran 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pemerintah menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua penerapan pajak karbon di tahun ini setelah sebelumnya juga ditunda pada April 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih menghitung eaktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon guna mendorong seluruh kegiatan ekonomi rendah emisi.

Rencana ini perlu terus dikalibrasi ulang, mengingat keadaan masih rentan, pemulihan ekonomi kita masih sangat rapuh, terutama karena pandemi dan sekarang dilanda krisis energi dan pangan,” katanya dikutip dari Belasting.id, Rabu (14/9/2022).

Sri Mulyani menjelaskan instrumen atau kebijakan pajak karbon tidak berdiri sendiri, melainkan terbentuk dari paket kebijakan yang komprehensif.

Itu mencakup aturan pelaksanaan perdagangan karbon, tarif karbon, serta metode pengenaan pajak karbon. Tujuannya sama, untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong lebih banyak ekonomi hijau.

Kendati pajak karbon belum diterapkan, Sri Mulyani menuturkan pemerintah telah menyediakan kebijakan yang relevan untuk menciptakan lingkungan hijau rendah karbon bagi sektor manufaktur.

Dia mencontohkan ada peraturan pemerintah (PP) No.73/2019 stdd PP No.74/2021 yang mengatur tentang pajak penjualan atas barang mewah berupa kendaraan bermotor.

Melalui aturan itu, kata Sri Mulyani, pajak dikenakan pada kendaraan sesuai kapasitas silinder atau CC. Dimana semakin tinggi CC-nya dianggap semakin mewah dan pajak yang dikenakan lebih tinggi.

Menkeu menambahkan tidak hanya menilik kapasitas mesin kendaraan, apabila kendaraan tersebut semakin berpolusi maka tarif yang dikenakan juga semakin tinggi. Berbeda dengan kendaraan listrik atau battery electric vehicle (BEV) yang dikenakan pajak penjualan 0 persen.

Sekedar informasi, penerapan pajak karbon dituangkan dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang seharusnya sudah dieksekusi pada Juni 2022.

Usai PLTU, Pajak Karbon Bakal Menyasar Sektor Transportasi

Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Pajak karbon yang tadinya bakal diterapkan pada 1 Juli 2022 kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri dalam menerapkan pajak karbon.

Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama. Ke depan setelah PLTU batu bara, pajak karbon bakal menyasar ke sektor transportasi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meminta masyarakat menggunakan sumber energi bersih untuk kebutuhan transportasi dengan berevolusi dalam kendaraan bermotor. Jika saat ini dominasi kendaraan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan akan didorong bergeser menggunakan sumber energi listrik.

Pergeseran pola transportasi dibutuhkan dalam jangka panjang. Pasalnya, harga energi fosil akan makin mahal dan ditambah potensi bertambahnya beban pajak untuk penggunaan energi tidak terbarukan.

"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar menjadi berlistrik. Apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi ke depannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (6/9/2022).

Oleh karena itu, Menteri ESDM mendukung penuh upaya transisi kendaraan bermotor menjadi berbasis baterai listrik.

Menurutnya, pemerintah membuka kesempatan kepada semua pihak dalam upaya transisi energi ramah lingkungan. Hal tersebu berlaku pada sektor transportasi seperti mobil listrik atau motor listrik.

"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik," terangnya.

Mengenal Pajak Karbon dan Penerapannya di Negara Lain

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Pajak karbon yang tadinya akan mulai berlaku pada 1 Juli 2022 lalu kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah dikabarkan masih melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri sehingga langkah penundaan diambil untuk memastikan implementasi akan berjalan dengan baik.

Pajak karbon sedang diperkenalkan di Indonesia dalam upaya untuk mengendalikan perubahan iklim dan memerangi pemanasan global. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan DPR sejak 7 Oktober 2021.

Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama.

Menurut Kementerian Keuangan, dana yang terkumpul dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

“Kita perlu mengapresiasi langkah awal pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi hijau, salah satunya dengan adanya penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca," ungkap CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (23/7/2022).

“Namun penerapan pajak karbon harus dilakukan dengan perencanaan dan kalkulasi yang matang sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi. Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan potensi kenaikan harga energi seperti BBM maupun listrik dengan bertambahnya ongkos produksi," imbuh Johanna.

Pengertian Pajak Karbon

Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain - lain.

Pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah memerangi pemanasan global. 

Menerapkan pajak karbon di Indonesia dapat membantu mengurangi pemanasan global dan mengendalikan perubahan iklim, serta meningkatkan pendapatan pajak dan efisiensi energi bagi konsumen dan bisnis. 

Jika melihat data Bank Dunia, sampai pertengahan 2021, terdapat sekitar 35 negara yang telah menerapkan pajak karbon. Tiap negara menerapkan kebijakan pajak yang beragam.

Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dari kendaraan dan pembangkit listrik. Kendati bentuknya berbeda-beda, pajak karbon di skala global umumnya dihitung dengan satuan dolar Amerika Serikat per ton CO. 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya