Liputan6.com, Jakarta Petani tebu rakyat tengah dibuat khawatir dengan beredarnya draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Rencana Swasembada Gula Nasional.
Dalam rancangan draft Perpres tersebut, terungkap jika pemerintah menugaskan PTPN III untuk memproduksi gula konsumsi dan gula industri sekaligus dengan menggandeng mitra kerja. Alih-alih mencapai swasembada gula nasional, skema tersebut dikhawatirkan hanya akan memunculkan monopoli usaha.
Baca Juga
Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan, rancangan Perpres ini perlu dicermati lebih dalam. Sebab, jangan sampai Presiden mengesahkan kebijakan yang dampaknya justru merugikan negara.
Advertisement
Menurut dia, pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun dan mengesahkan kebijakan soal percepatan swasembada gula ini.
"Saya ingin mengimbau kepada pemerintah, apalagi ini kan bentuknya Perpres. Jangan gegabah keluarkan aturan, impor gula tapi bikin mati petani. Tugas BUMN itu menyejahterakan rakyatnya, bukan mencari untung sebesar-besarnya ke rakyatnya," tegas dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (26/9/2022).
Soemitro pun menyoroti sejumlah hal yang diatur dalam rancangan draft Perpres ini. Salah satunya, soal perluasan area tanam yang tercantum di dalam rancangan aturan ini tidak menyebutkan area yang menjadi target perluasan area tanam.
Hal tersebut dinilai berbahaya bila area tanam baru yang dibuka lokasinya jauh dari sentra pengolahan atau pabrik gula yang sudah ada saat ini.
Masalah lainnya, yaitu soal kendala masalah kapasitas produksi pabrik. Saat ini, menurut dia, Indonesia sudah punya lahan tebu dengan total luas area mencapai 450.000 ha.
Â
Â
Â
Â
Produksi Tebu
Ia khawatir, bila produksi tebu di tingkat petani digenjot tanpa mempertimbangkan kapasitas pengolahan yang ada, bisa-bisa tebu yang diproduksi tidak terserap dengan baik dan harga tebu petani anjlok.
"Kalau mau ditambah jadi 700 ribu ha, lalu produksinya siapa yang nyerap? Pabrik gula itu punya keterbatasan produksi, lalu pabriknya di mana, harus jelas," tuturnnya.
Tak berhenti sampai di sana, petani mengeluhkan tugas percepatan swasembada gula diserahkan ke PTPN III lewat skema penunjukan langsung.
Menurut Soemitro, hal ini tidak masuk akal lantaran kapasitas produksi perusahaan plat merah tersebut belum cukup memadai untuk menyerap seluruh tebu petani. Pada akhirnya, dia khawatir jika kebijakan ini hanya akan menguntungkan segelintir pihak.
"Memangnya tugas swasembada bisa diselesaikan sendirian, kan harusnya seluruh pabrik atau badan usaha gula bisa dapat penugasan juga dong. Enggak cuma PTPN saja," tegas dia.
Advertisement
Pabrik Wajib Beli Gula dari Petani Tebu Harga Minimal Rp 11.500 per Kg
Badan Pangan Nasional atau NFA (National Food Agency) terus berupaya menjaga ketersediaan dan stabilitas harga pangan, salah satunya komoditas gula.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menegaskan, seluruh pabrik gula wajib membeli gula kristal putih produksi petani tebu rakyat sesuai harga ditingkat petani yang berlaku saat ini, yakni Rp 11.500 per kg, naik Rp 1.000 dari tahun lalu.
"Rp 11.500 itu harga minimal, kalau nanti lelangnya Rp 12.000, ya harus dibeli Rp 12.000. Kenapa demikian, karena produksi itu pasti ikut kalau kesejahteraan petani baik," tegas Arief pada saat meninjau Pabrik Gula Krebet Baru yang dikelola PT PG Rajawali1 member of ID FOOD, Sabtu (28/5/2022).
"Dan ditingkat hilirnya, kita juga jaga harga ditingkat konsumen, yakni di harga Rp 13.500," katanya lagi.
Menurut dia, pabrik-pabrik gula yang dikelola BUMN seperti ID FOOD, PTPN maupun private sector dapat menjaga keseimbangan. Selain harga ditingkat hulu di petani, juga harga di hilir tingkat konsumen.
"Pabrik Gula Krebet ini bisa dijadikan contoh untuk PG di indonesia, karena kemitraan dengan petaninya sudah terjalin lebih dari 50 tahun. Keistimewaan PG ini terbesar, masih dimiliki BUMN 100 persen yang dikelola Holding Pangan ID FOOD dan bekerja sama dengan petani di sekitar pabrik sampai ke beberapa kabupaten lain di Jatim," ungkapnya.
"Hulu hilir harus seimbang. Jadi jangan di hulunya saja dijaga agar inflasinya bagus, tapi hilirnya tidak diperhatikan. Di hulu, harga telur misalnya, harga beras dan padi, ayam, terutama produk-produk yang bisa diproduksi dalam negeri dan tidak impor," tegas dia.