Liputan6.com, Jakarta - Populasi China menurun pada tahun 2022. Penurunan populasi itu merupakan yang pertama sejak awal tahun 1960-an. Populasi China, tidak termasuk orang asing, turun 850.000 orang pada 2022 menjadi 1,41 miliar, menurut biro statistik negara itu.
Di tahun 2022 juga, China melaporkan 9,56 juta kelahiran dan 10,41 juta kematian. Pangsa populasi usia 16 hingga 59 di China juga tumbuh lebih rendah menjadi 62 persen, turun dari 62,5 persen tahun sebelumnya.
Baca Juga
Turunnya jumlah penduduk China diungkapkan oleh kata Biro Statistik Nasional negara tersebut pada 17 Januari 2023. Melansir CNBC International, Selasa (17/1/2023) kritikus kebijakan satu anak di China sekaligus penulis buku Big Country With an Empty Nest, yakni Yi Fuxian menyebut jika ini pertama kali sejak kurun 1960-an.
Advertisement
"Kontraksi total populasi mencerminkan dampak pandemi dan penurunan ekonomi yang terkait dengan permintaan kesuburan," kata Yue Su, ekonom utama, Economist Intelligence Unit, dalam sebuah catatan.
Namun dia yakin, China dapat melihat populasinya tumbuh kembali meski dalam jangka pendek setelah dampak pandemi Covid-19 mereda.
"Terlepas dampak negatif dari ukuran populasi yang menyusut pada potensi pertumbuhan jangka panjang DI China, kami merekomendasikan perusahaan untuk melihat peluang yang tertanam dalam struktur populasi," pungkasnya.
Menurutnya, ukuran keluarga yang lebih kecil akan mendorong transformasi dan peningkatan konsumsi. 'Ekonomi perak' yang terkait dengan tren penuaan akan menjadi titik pertumbuhan lainnya."
65,22 Persen Penduduk China Tinggal di Perkotaan
Sementara itu China mengungkapkan, 65,22 persen penduduknya tinggal di daerah perkotaan tahun lalu, naik dari 64,72 persen tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan, sekitar 83 persen populasi AS tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2021, menurut Bank Dunia.
Namun penurunan populasi di China sepertinya tidak menjadi hal yang baru bagi negara itu.
Pada tahun 2021 saja, populasi China tumbuh dengan peningkatan paling lambat dalam catatan.
Populasi China pada akhir 2021, yang tidak termasuk warga asing, naik 480.000 menjadi 1,41 miliar orang pada akhir 2021, menurut Biro Statistik Nasional.
Kelahiran baru di China turun 13 persen pada 2021 menjadi 10,62 juta bayi.
Bahkan pada tahun 2020, kelahiran di China turun 22 persen.
Secara terpisah selama akhir pekan, otoritas kesehatan China mengungkapkan hampir 60.000 kematian terkait Covid-19 di rumah sakit China antara 8 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023. Mayoritas adalah warga lanjut usia, dan usia rata-rata kematian adalah 80,3 tahun, menurut pihak berwenang negara itu.
Advertisement
Bank Dunia Ramal Pertumbuhan Ekonomi China Melesat 4,3 Persen di 2023
Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi China bakal terdongkrak tahun ini ke level 4,3 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi China tahun 2022 yang hanya 2,7 persen.
Perbaikan ekonomi terjadi karena kebijakan ini tidak terlepas dari berakhirnya kebijakan zero covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sehingga berbagai aktivitas ekonomi akan kembali pulih walau masih bertahap.
"Ketika pembatasan mobilitas mereda, pertumbuhan ekonomi di China diperkirakan akan menguat dari 2,7 persen pada 2022 menjadi 4,3 persen tahun ini," dikutip dari Laporan Proyeksi Ekonomi Global Edisi Januari 2023, Jakarta, Rabu (11/1).
Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi di China tahun ini terbilang masih rendah. Potensi pertumbuhannya belum bisa mencapai kondisi pra pandemi.
Meski begitu, membaiknya ekonomi di China memberikan dampak positif pada pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Tahun 2023 diperkirakan kawasan ini mampu tumbuh 4,3 persen (yoy). Artinya, kondisi akan lebih baik dari kondisi tahun 2022 yang diperkirakan hanya akan tumbuh 3,2 persen (yoy).
"Pertumbuhan di kawasan EAP (Asia Timur dan Pasifik) diproyeksikan menguat menjadi 4,3 persen pada tahun 2023," tulis Bank Dunia.
Masalah Berlarut
Hanya saja, proyeksi ini di bawah proyeksi yang dibuat Bank Dunia pada Juni 2022. Kala itu pertumbuhan regional diperkirakan akan melampaui 5 persen pada 2023-2024.
Revisi ke bawah ini mencerminkan gangguan terkait pandemi dan pelemahan yang berlarut-larut di sektor real estat di China. Termasuk pertumbuhan ekspor barang yang lebih lemah dari perkiraan di seluruh wilayah.
Dalam menghadapi pengetatan moneter yang sedang berlangsung, aktivitas yang moderat, berkurangnya gangguan rantai pasokan, dan harga yang lebih rendah untuk banyak komoditas. Sementara dari sisi nflasi diperkirakan akan sedikit mereda setelah mencapai puncaknya pada tahun 2022.
Sebagian besar bank sentral di kawasan ini telah menaikkan suku bunga acuan, tetapi pengetatan keuangan secara umum tidak begitu terasa di kawasan ini dibandingkan dengan negara pasar dan berkembang lainnya. Sebab tekanan harga yang relatif lebih rendah.
Advertisement