Survei: 2.000 CEO Pesimistis Soal Profitabilitas Perusahaan

2.000 CEO yang disurvei oleh PwC mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi perusahaan mereka tidak akan berjalan baik dalam beberapa tahun ke depan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Feb 2023, 13:45 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2023, 13:45 WIB
Ilustrasi meja kerja, lampu meja
Ilustrasi meja kerja, lampu meja. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/silver-apple-macbook-on-brown-wooden-table-265072/)

Liputan6.com, Jakarta - Meski ancaman resesi di 2023 mulai mereda, sejumlah CEO di berbagai negara masih melihat kondisi ekonomi perusahaan mereka masih dalam kesulitan.

Melansir CNBC International, Senin (6/2/2023) hampir 2.000 CEO yang baru-baru ini disurvei oleh firma akuntansi dan konsultan PwC mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi perusahaan mereka tidak akan berjalan baik dalam beberapa tahun ke depan.

Angka itu hampir 40 persen dari total jumlah CEO yang disurvei di 105 negara untuk survei tahunan CEO global PwC.

Kekhawatiran ini datang karena sejumlah alasan. Lebih dari separuh CEO yang disurvei menyebut pergeseran permintaan konsumen, perubahan peraturan, dan kekurangan tenaga kerja sebagai tantangan terhadap profitabilitas mereka selama 10 tahun ke depan.

Ditemukan juga, 69 persen khawatir tentang teknologi seperti kecerdasan buatan yang memangkas keuntungan mereka, dan 43 persen mengatakan gangguan rantai pasokan akan terus menjadi ancaman, serta hampir sepertiga khawatir tentang pesaing dari industri luar memasuki bidang mereka.

Laporan PwC juga membahas ancaman perubahan iklim, gangguan teknologi, pergeseran demografis, dunia yang tak pasti dan ketidakstabilan sosial sebagai tren besar yang dapat mengubah kinerja bisnis di tahun-tahun mendatang.

Sementara itu, CEO di Amerika Serikat menjadi responden yang paling optimis tentang model bisnis jangka panjang, sedangkan para pemimpin bisnis di Jepang dan China menjadi responded yang paling tidak optimis pada prospek bisnis mereka ke depannya.

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, sebagian besar pemimpin perusahaan yang disurvei — 60 persen mengungkapkan tidak merencanakan PHK, setidaknya selama 12 bulan ke depan.

Pentingnya Membuat Terobosan

Ilustrasi orang presentasi
Ilustrasi bekerja di lingkungan perkantoran. (unsplash.com/Campaign Creators).

Dalam laporan tersebut, penulis merekomendasikan agar para pemimpin perusahaan mulai membuat pilihan atau terobosan yang lebih berani tentang arah jangka panjang bisnis mereka.

Mereka merujuk pada Philips, perusahaan multinasional Belanda yang mengubah dirinya sebagai perusahaan teknologi kesehatan pada 2010-an setelah berfokus pada produk pencahayaan sejak 1891.

Philips dipecah menjadi dua perusahaan untuk mewujudkan perubahan itu, melepaskan divisi penerangannya dalam penawaran umum perdana pada tahun 2016.

Langkah tersebut, meskipun drastis, berhasil  menarik perusahaan keluar dari kebiasaan yang signifikan pada saat itu. (Stoknya anjlok baru-baru ini, menyusul penarikan perangkat besar-besaran.)

CEO yang disurvei PwC juga mengatakan bahwa mereka ingin membuat keputusan yang begitu berani tetapi saat ini belum menjadi prioritas.

Mayoritas mengatakan bahwa di dunia ideal mereka, mereka akan menghabiskan 57 persen waktu kerja untuk memikirkan cara memenuhi tuntutan kerja.

Sebaliknya, mengelola kinerja perusahaan mereka saat ini menghabiskan sebagian besar waktu mereka.

Survei: Cuma 2 dari 5 Orang yang Percaya Punya Masa Depan Ekonomi Lebih Baik

Jelang Natal dan Tahun Baru, Harga Kebutuhan Pokok di Supermarket Masih Stabil
Warga berbelanja untuk kebutuhan bahan pokok akhir tahun di salah satu hypermarket, Jakarta, Sabtu (24/12/2022). Memasuki libur Natal dan Tahun Baru 2023, harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya di supermarket masih stabil bahkan terdapat program promo. (merdeka.com/Imam Buhori)

Survei global terbaru yang dilakukan oleh The Edelman Trust Barometer mengungkapkan hanya dua dari lima orang yang percaya keluarga mereka akan memiliki masa depan ekonomi yang lebih baik.

Sebagai informasi, survei Edelman Trust Barometer menerbitkan survei terhadap lebih dari 32.000 responden di 28 negara yang diwawancarai dari 1 November hingga 28 November 2022 lalu.

Mengutip US News, Senin (16/1/2023) Edelman yang selama lebih dari dua dekade telah mensurvei ribuan orang di berbagai negara, menemukan bahwa pesimisme ekonomi berada pada titik tertinggi di negara ekonomi top dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang.

Temuan itu semakin memperkuat gambaran bagaimana masyarakat telah terdampak oleh pandemi dan lonjakan inflasi.

Edelman mengungkapkan, rumah tangga berpendapatan tinggi secara luas masih mempercayai institusi seperti pemerintah, bisnis, media dan LSM. Tapi keterasingan marak terjadi di antara kelompok berpenghasilan rendah.

"Ini benar-benar menunjukkan perpecahan kelas massa lagi," kata CEO Edelman Trust Barometer, Richard Edelman.

Perusahaannya mencatat, secara global, hanya 40 persen responden yang merespon setuju bahwa "kehidupan mereka akan lebih baik dalam lima tahun" dibandingkan dibandingkan 50 persen responden yang tercatat tahun sebelumnya. 

Angka terendah berada di negara maju yakni Amerika Serikat 36 persen, Inggris 23 persen, Jerman 15 persen dan Jepang hanya 9 persen.

Sementara itu, angka tertinggi berada di China - 65 persen meskipun ada gangguan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan nol Covid-19 yang sekarang sudah dilonggarkan.

Perlunya Kontribusi dari Pengusaha

Jelang Natal dan Tahun Baru, Harga Kebutuhan Pokok di Supermarket Masih Stabil
Kasir menghitung berbelanjaan warga untuk kebutuhan bahan pokok akhir tahun di salah satu hypermarket, Jakarta, Sabtu (24/12/2022). Memasuki libur Natal dan Tahun Baru 2023, harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya di supermarket masih stabil bahkan terdapat program promo. (merdeka.com/Imam Buhori)

Sementara Indeks Kepercayaan Edelman mencatat tingkat kepercayaan rata-rata 63 persen di institusi utama di antara responden AS berpenghasilan tinggi, angka itu turun menjadi hanya 40 persen di antara kelompok berpenghasilan rendah. Divergensi berbasis pendapatan serupa juga terjadi di Arab Saudi, China, Jepang, dan Uni Emirat Arab.

Edelman mengungkapkan, responden dengan selisih enam banding satu ingin bisnis lebih terlibat dalam masalah mulai dari pelatihan ulang hingga perubahan iklim dan menyarankan masalah ini harus mendorong mereka untuk menepis tuduhan adanya kapitalisme terbangun.

"Menurut saya, data kami memberikan banyak amunisi kepada para CEO yang menyadari bahwa bisnis harus menjadi kekuatan penting dalam masalah sosial," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya