Liputan6.com, Jakarta - Inflasi di Sri Lanka mulai mereda, sejak negara itu dilanda krisis ekonomi dan lonjakan biaya sejak tahun 2022.
Melansir Channel News Asia, Sabtu (22/4/2023) Indeks Harga Konsumen Nasional (NCPI) Sri Lanka turun menjadi 49,2 persen year on year di bulan Maret 2023, setelah naik 53,6 persen di bulan Februari, menurut departemen statistik negara itu.
Baca Juga
Ini menandai pertama kalinya inflasi di Sri Lanka turun di bawah 50 persen sejak Agustus tahun lalu.
Advertisement
Inflasi pangan Sri Lanka turun menjadi 42,3 persen pada Maret dari 49 persen pada bulan Februari, sementara inflasi non-pangan berada di 54,9 persen.
"Mengingat basis yang tinggi, permintaan yang lemah dan biaya yang lebih baik karena harga komoditas global yang lebih rendah dan mata uang yang lebih stabil, Sri Lanka dapat melihat inflasinya berkurang hingga di bawah 40 persen mulai akhir April dan seterusnya," kata Sanjeewa Fernando, Senior Vice President Research di Asia Securities.
Seperti diketahui, negara berpenduduk 22 juta orang itu menghadapi lonjakan inflasi sejak awal 2022, sebagian disebabkan oleh kekurangan devisa yang parah yang memicu krisis keuangan terburuk dalam tujuh dekade, mendorongnya ke jurang gagal bayar utang atau default.
Bank sentral Sri Lanka mempertahankan suku bunga stabil pada April 2023 dan menyatakan optimisme bahwa inflasi akan melambat tajam dalam beberapa bulan mendatang, dalam keputusan kebijakan pertamanya sejak mengamankan dana pinjaman senilai USD 3 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Gubernur bank sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe mengatakan efek dasar yang menguntungkan akan dimulai dari bulan depan dengan inflasi diproyeksikan mencapai satu digit pada akhir Desember 2023.
Sri Lanka Segera Terima Bantuan Ekonomi Rp 44,7 Triliun dari IMF
Sri Lanka dikabarkan akan segera menandatangani kesepakatan dana bantuan selama empat tahun senilai USD 2,9 miliar atau Rp. 44,7 triliun, yang telah lama dinanti dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Dana bantuan ini datang setelah negara yang dilanda krisis ekonomi itu mendapatkan dukungan pembiayaan baru dari China.
Mengutip US News, Rabu (6/8/2023) IMF dan Sri Lanka mengkonfirmasi bahwa negara itu telah menerima jaminan dari semua kreditor bilateral utamanya.
Ini akan menandai langkah untuk mengerahkan pembiayaan dan momen penting di tengah krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen bahwa sudah ada tanda-tanda ekonomi negaranya membaik, tetapi mata uang asing masih tidak mencukupi untuk semua kebutuhan impor, membuat kesepakatan IMF penting sehingga kreditor lain juga dapat mulai mengeluarkan dana.
"Sri Lanka telah menyelesaikan semua tindakan sebelumnya yang diminta oleh IMF," kata Presiden Ranil Wickremesinghe, dan bahwa dia dan gubernur bank sentral telah mengirimkan surat persetujuan kepada organisasi tersebut.
"Saya menyambut baik kemajuan yang dibuat oleh otoritas Sri Lanka dalam mengambil tindakan kebijakan yang tegas dan memperoleh jaminan pembiayaan dari semua kreditor utama mereka, termasuk China, India, dan Paris Club," tulis kepala IMF Kristalina Georgieva di Twitter.
Seperti diketahui, utang internasional dan mata uang Sri Lanka telah melonjak, dengan obligasi bertambah sekitar 3 sen dalam dolar, sementara rupee Sri Lanka anjlok 7,8 persen ke level tertinggi dalam 10 bulan.
Sebuah surat baru oleh Bank Ekspor-Impor China (EXIM) yang dikirim pada Senin (6/3) ke Sri Lanka menyelesaikan kebuntuan tersebut.
Sumber yang dekat dengan pembicaraan mengatakan EXIM memberikan jaminan pembiayaan yang "spesifik dan kredibel" untuk restrukturisasi utang, dengan tautan khusus ke program IMF dan bahasa yang jelas tentang kesinambungan utang.
Advertisement
Ingin Bangkit dari Krisis Ekonomi, Sri Lanka Mau Lunasi Utang Rp 39,4 Triliun
Pemerintah Sri Lanka telah menyetujui pembayaran pinjaman senilai USD 2,6 miliar atau setara Rp 39,4 triliun pada paruh pertama tahun 2023 ini.
Juru bicara kabinet dan Menteri Transportasi Sri Lanka, Bandula Gunawardana mengatakan bahwa langkah tersebut sejalan dengan rencana penangguhan utang negara itu.
Melansir Channel News Asia, Rabu (22/2/2023) pembayaran ini akan mencakup pembayaran pinjaman luar negeri sebesar USD 2 miliar (Rp 30,3 triliun) dan pembayaran bunga sebesar USD 540 juta (Rp.8,1 triliun).
Pembayaran juga akan mencakup USD 709 juta (Rp.10,7 triliun) dalam bentuk Obligasi Pembangunan Sri Lanka dalam denominasi dolar dan pembayaran bunga sebesar USD 46 juta (Rp.697,9 miliar), tambah Gunewardana.
Selain itu, Sri Lanka juga menandatangani perjanjian awal untuk dana talangan senilai USD 2,9 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan September lalu, tetapi harus menempatkan utangnya pada jalur yang berkelanjutan sebelum pencairan dapat dimulai.
"Pembicaraan dengan IMF sudah pada tahap akhir tetapi belum selesai sehingga keuangan publik harus ditangani dengan hati-hati. Pembayaran utang ini akan dilakukan dalam batas pinjaman yang ditetapkan dalam anggaran 2023," jelas Gunawardana.
Seperti diketahui, negara berpenduduk 22 juta orang itu terjerat dalam krisis keuangan terburuk dalam lebih dari tujuh dekade, dipicu oleh kekurangan devisa yang parah yang mendorong penangguhan pembayaran utang luar negeri pada April 2022.
Namun, Sri Lanka akan terus membayar pinjaman multilateralnya dari beberapa organisasi termasuk Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), demikian keterangan juru bicara kabinet dan Menteri Transportasi Bandula Gunawardana.
Demi Bantuan IMF, Negara Ini Naikkan Tarif Listrik hingga 275 Persen
Sri Lanka melakukan langkah drastis demi memperoleh dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF).
Melansir AFP, Senin (20/2/2023) Dewan kelistrikan Sri Lanka menaikkan tarif listrik konsumen hingga 275 persen, kenaikan tajam kedua dalam beberapa bulan karena krisis ekonomi dan tengah berusaha mendapat dana talangan IMF.
"Kami harus menaikkan biaya listrik agar sesuai dengan ketentuan IMF bahwa kami tidak bisa mendapatkan bantuan dari bendahara," kata menteri energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera.
"Kita perlu menghasilkan pendapatan untuk menutupi biaya kita," tambahnya.
Rumah tangga di Sri Lanka sekarang akan membayar setidaknya 30 rupee per kilowatt-jam untuk listrik, angka yang sejalan dengan tarif rata-rata di negara tetangga India.
Kenaikan tarif terendah 275 persen itu menyusul kenaikan 264 persen yang mulai berlaku enam bulan lalu.
Konsumen dengan penghasilan yang lebih besar juga telah dinaikkan tarifnya sebesar 60 persen setelah kenaikan 80 persen di bulan Agustus 2022.
Advertisement