Gawat, Nasabah AS Cemas Simpan Uang di Bank Imbas Krisis Perbankan

Gallup menemukan bahwa 19 persen orang dewasa yang disurvei mengungkapkan sangat khawatir tentang keamanan uang mereka di bank.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 05 Mei 2023, 14:00 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2023, 14:00 WIB
Ilustrasi bank
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Krisis perbankan baru-baru ini mengurangi kepercayaan pada sistem keuangan di Amerika Serikat. Hal itu diungkapkan dalam temuan survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultasi manajemen asal AS, Gallup.

Melansir CNBC International, Jumat (5/5/2023) Gallup menemukan bahwa setengah dari 1.013 orang dewasa yang disurvei mengatakan mereka sangat khawatir (19 persen) dan cukup khawatir (29 persen) tentang keamanan uang yang mereka simpan di bank atau lembaga keuangan lainnya.

Sementara itu, sekitar 20 persen responden lainnya mengatakan mereka tidak khawatir sama sekali, dengan hampir sepertiga mengatakan mereka tidak terlalu khawatir.

Tingkat keprihatinan yang diungkapkan dalam jajak pendapat tersebut mirip dengan temuan yang ditemukan Gallup tak lama setelah runtuhnya Lehman Brothers pada September 2008.

Namun, ini bukanlah survei yang dilakukan Gallup secara rutin, jadi sulit untuk mengatakan bagaimana sikap pelanggan berubah dari waktu ke waktu.

Tetapi pembacaan pada Desember 2008 telah menunjukkan sentimen telah membaik dari tingkat terburuk karena langkah-langkah mengurangi dampak krisis keuangan.

Saat pengambilan polling dari 3-25 April tahun ini, Signature Bank dan Silicon Valley Bank sudah kolaps. Sejak itu, regulator mengambil alih First Republic dan menjual asetnya ke JPMorgan Chase.

Pada Kamis (4/5), sejumlah saham bank regional di AS merosot, dengan saham PacWest yang berbasis di Los Angeles merosot lebih dari 46 persen.

First Republic Bank Bangkrut, Krisis Perbankan AS Diprediksi Belum Berakhir

First Republic Bank (Foto: Mariia Shalabaieva/Unsplash)
First Republic Bank (Foto: Mariia Shalabaieva/Unsplash)

First Republic yang memasuki kebangkrutan dalam enam minggu dan disita oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) pada Senin pagi, 1 Mei 2023. First Republic Bank pun diambil alih oleh JPMorgan Chase.

Ini adalah pemberi pinjaman ketiga AS yang alami kegagalan dalam dua bulan, demikian dikutip dari CNN, ditulis Rabu (3/5/2023). Ini kegagalan bank terbesar setelah Washington Mutual pada 2008.

Gejolak perbankan yang dimulai dengan Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret 2023 memicu kepanikan di antara deposan dan investor yang memiliki kesamaan yang nyata dan dirasakan dengan SVB.

First Republic hanya sedikit lebih besar dari SVB dan melayani nasabah yang kaya raya, segera memiliki target.

Lalu apa yang membuat First Republic dan SVB bangkrut?

First Republic dan Silicon Valley Bank berkantor pusat di Bay Area melayani pelanggan elit bisnis dan individu yang memiliki saldo kas besar. Dalam dua kasus, bank memiliki proporsi simpanan yang sangat besar di atas USD 250.000 atau sekitar Rp 3,6 miliar (asumsi kurs Rp 14.689 per dolar AS) yang dicakup oleh FDIC.

“Para deposan ini sangat rentan terhadap pemicu. Mereka canggih, mereka tahu memiliki pilihan lain, dan mereka memiliki mekanisme untuk memindahkan uang dengan cepat,” ujar Profesor Hukum di Boston College, Patricia McCoy dikutip dari CNN.

Risiko First Republic Bank

Basis deposan yang sangat fluktuatif itu menghadirkan risiko bagi investor. Ketika First Republic merilis laba kuartal I 2023 pada Senin, 1 Mei 2023 disertai dengan panggilan investor yang sangat singkat di mana pemimpin perusahaan tidak mengambil pertanyaan dari investor dan media.

Bank mengungkapkan kehilangan lebih dari 40 persen dari simpanannya. Hal itu setara USD 100 miliar. Rilis kinerja tersebut mengirim saham First Republic Bank anjlok ke level terendah baru.

Bank-bank besar yakni JPMorgan Chase dan Bank of America telah diversifikasi basis deposan mereka untuk memasukkan lebih banyak. McCoy menyebutnya sebagai “sticky deposits”. Dengan kata lain, orang biasa yang memiliki dana kurang dari USD 250.000 di bank dan tidak akan secepat itu melarikan diri.

Sekitar dua pertiga dari simpanan di First Republic tidak diasuransikan. Itu jauh lebih sedikit dari pada 94 persen tidak diasuransikan yang dimiliki Silicon Valley Bank, tetapi First Republic juga memiliki rasio pinjaman ke deposit 111 persen pada akhir tahun lalu, menurut S&P Global. Yang berarti ia telah meminjamkan lebih banyak uang daripada ada di deposito.

Pengamat Sebut Bukan Akhir Krisis Perbankan

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas
Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Di sisi lain, pasar tampaknya jika tidak senang, setidaknya tidak sepenuhnya ketakutan oleh resolusi First Republic. Saham First Republic Bank turun, tetapi hanya sedikit. Berita First Republic hanya salah satu dari banyak peristiwa yang diawasi ketat yang akan bebani investor pekan ini.

CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon menuturkan, kalau penjualan sebagai penanda krisis. “Tidak ada bola kristal yang sempurna, tapi, menurut saya sistem perbankan sangat stabil. Bagian dari krisis ini sudah berakhir,” ujar Jamie Dimon.

Namun, tak semua pihak setuju dengan optimisme itu. Profesor Hukum dan Pakar Keuangan Publik Cornell University, Robert Hockett menuturkan, pengambilalihan tersebut bukan akhir dari krisis perbankan.

"Berlawanan dengan prediksi wall street yang optimisme dan prediksi Washington yang dibuat selama akhir pekan, ini bukan akhir dari krisis perbankan pada Maret, ini masih permulaan," tutur Hockett.

Ia menuturkan, penjualan ke JPMorgan hanya membuat JPMorgan makin besar dan kekuatan bank wall street terbesar semakin terkonsentrasi. Dampaknya adalah tergerusnya industri perbankan regional.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya