Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) memperlihatkan hasil kerjanya di Menzel Ledjmet Nord (MLN) Oil Field Algeria. Itu merupakan lapangan migas milik Pertamina pertama di luar negeri, berlokasi di Aljazair, Afrika Utara yang dioperasikan secara penuh oleh Pertamina sejak Mei 2014.
Dalam kunjungannya ke MLN Algeria, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan rasa bangga dan apresiasinya kepada seluruh pekerja, karena menurut dia bekerja jauh dari Tanah Air tentu tidak mudah. Apalagi lokasinya di tengah Gurun Sahara yang pasti penuh dengan tantangan.
Baca Juga
“Saya sangat bangga kepada rekan-rekan sekalian, yang telah bekerja keras dalam memenuhi amanah negara dalam mewujudkan ketahanan energi nasional, tentu tidak mudah dan banyak tantangannya,” kata Nicke dalam keterangan tertulis, Rabu (14/6/2023).
Nicke Widyawati juga mengapresiasi kinerja MLN yang sejak beroperasi hingga saat ini berhasil menjaga zero fatality dan zero lost time incident, dengan total man hours lebih dari 23 juta jam.
Advertisement
“Lapangan migas ini tentu penuh tantangan, oleh karena itu saya mendorong untuk terus berinovasi melalui inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan produksi sehingga diharapkan nanti dapat meningkatkan investasi dan mendongkrak kinerja MLN,” ujar Nicke.
Di Gurun Sahara
Menzel Ledjmet Nord (MLN) Oil Field berlokasi di Gurun Sahara, tepatnya sekitar 1.000 Km di bagian tenggara dari Algiers, Ibu Kota Algeria.
Memiliki kapasitas minyak 35.000 BOPD, Rata-rata produksi minyak MLN pada Januari hingga Mei 2023 mencapai 14.875 BOPD. Selain itu, dalam upayanya memenuhi kebutuhan energi baru terbarukan (EBT), hingga saat ini MLN telah memiliki 58 solar panel yang menghasilkan 1,141 KWH per tahun dan bisa menurunkan emisi 7.507 ton CO2 equivalen per tahun.
Dioperasikan oleh Pertamina Algeria EP (PAEP) sebagai anak perusahaan, PT Pertamina Internasional EP (PIEP) telah mengelola operasi MLN Oil Field secara penuh sejak 2014 dengan total participating interest sebesar 65 persen.
PIEP sendiri merupakan bagian dari Subholding Upstream Pertamina yang mengelola wilayah kerja hulu Internasional.
"PIEP memainkan peranan kunci dalam bekerja sama dengan mitra luar negeri dan beroperasi di empat benua dan 12 negara untuk mendukung pencapaian Pertamina sebagai perusahaan energi kelas dunia," pungkas Nicke.
Pertamina Kantongi Laba Rp 56,6 Triliun, Disebut Bukti Keberhasilan Efisiensi Perusahaan
PT Pertamina sepanjang 2022 mengantongi laba sebesar Rp 56,6 triliun. Raihan ini dinilai menjadi bukti keberhasilan program efisiensi yang dijalankan perusahaan tersebut.
"Pertamina patut diapresiasi. Dengan meraih laba, berarti mereka telah melakukan kegiatan luar biasa, salah satunya efisiensi di berbagai sektor,” ujar dia melansir Antara di Jakarta.
Menurut dia, tidak mudah untuk meraih laba pada kondisi saat ini, apalagi meningkat sekitar 86 persen dari tahun sebelumnya. Keberhasilan tersebut, karena Pertamina menerapkan kebijakan yang tepat.
"Terlebih, selain efisiensi, Pertamina juga menerapkan digitalisasi sehingga bisa mengurangi kerugian dan penyalahgunaan BBM. Jika Pertamina tidak menerapkan berbagai strategi, rugi juga ,"katanya.
Komaidi menyatakan, fakta bahwa Pertamina menerapkan strategi bisnis yang tepat karena tahun-tahun sebelumnya juga mampu meraih hasil positif. Termasuk pada 2020, saat pandemi Covid-19.
Ketika itu, tambahnya, banyak perusahaan migas dunia mengalami kerugian, sebaliknya, Pertamina justru berhasil meraih laba sebesar Rp14 triliun.
Di tengah hantaman triple shocks berupa anjloknya harga minyak, jatuhnya permintaan minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, Pertamina justru memperlihatkan kinerja menggembirakan.
Advertisement
Harus Hati-Hati
Namun demikian, menurut Komaidi, ke depan Pertamina harus tetap berhati-hati menghadapi berbagai tantangan, termasuk terkait transisi energi.
Selain itu, Pertamina lebih bijak dalam menetapkan portofolio investasi, termasuk di sektor energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT). Terlebih, karena diperkirakan energi yang bersumber dari fosil masih dibutuhkan hingga 30-50 tahun ke depan.
‘’Saya kira isu-isu resesi dan ekonomi global, pelemahan mata uang, dan lainnya sudah biasa dihadapi oleh Pertamina. Namun persoalan transisi energi tergolong isu baru," katanya.