Tutup Sekolah saat Pandemi, 5 Negara Asia Kehilangan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Rp 7.600 Triliun

Penutupan sekolah selama pandemi berpotensi menghilangkan pertumbuhan PDB hingga Rp. 7,6 kuadriliun di 5 negara Asia, termasuk Indonesia.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 27 Jul 2023, 20:00 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2023, 20:00 WIB
Ilustrasi sekolah, anak sekolah
Ilustrasi sekolah, anak sekolah. (Image by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Penutupan sekolah selama pandemi menyebabkan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi hingga USD 500 miliar atau Rp 7,5 kuadriliun di 5 negara Asia. Kelima negara itu termasuk India, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Temuan tersebut diungkapkan dalam laporan yang dibuat oleh firma penasihat ekonomi, Oxford Economics.

Melansir CNBC International, Kamis (27/7/2023) Oxford Economics mengungkapkan bahwa dari tahun 2021 hingga 2035, masing-masing negara ini dapat kehilangan rata-rata 0,3 persen dan 0,8 persen dari potensi PDB per tahun akibat penutupan sekolah selama pandemi, dengan total kehilangan PDB kolektif senilai USD 511 miliar atau setara Rp 7,6 kuadriliun (7.600 triliun).

Seperti diketahui, sekolah di sebagian besar negara di dunia terpaksa ditutup ketika pandemi Covid melanda pada tahun 2020, dan siswa harus beralih dari pelajaran tatap muka ke pembelajaran jarak jauh selama berbulan-bulan.

Sekolah-sekolah di Filipina juga ditutup sepenuhnya atau sebagian selama sekitar 18 bulan antara Februari 2020 dan Maret 2022 – lebih lama dari negara Asia lainnya. 

Karena itu, Filipina dapat mengalami kerugian tertinggi dalam potensi PDB dan investasi antara tahun 2021 dan 2035, menurut Oxford Economics.

Sebagai perbandingan, sekolah-sekolah di Thailand ditutup seluruhnya atau sebagian selama 10 bulan, waktu tersingkat di antara lima negara.

Thailand diperkirakan akan mengalami kerugian paling kecil dalam potensi PDB dan investasi selama periode yang sama.

Namun, laporan tersebut menyoroti bahwa Thailand memiliki PDB yang lebih rendah dan masyarakat pada awalnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bahaya Putus Sekolah pada Perkembangan Ekonomi

Ilustrasi pelajar, siswa, murid sekolah
Ilustrasi pelajar, siswa, murid sekolah. (Photo created by pressfoto on www.freepik.com)

Oxford Economic mencatat, banyak siswa dari negara berkembang ini berasal dari rumah tangga berpenghasilan rendah dan tidak memiliki akses internet, teknologi yang memadai, atau ruang belajar yang nyaman ketika sekolah ditutup.

Siswa-siswa ini lebih mungkin putus sekolah, yang mengarah pada penurunan produktivitas ekonomi dalam jangka panjang karena tingkat pendapatan yang lebih rendah dan daya beli yang lebih rendah.

"Sumber daya manusia, pendapatan, dan kesehatan yang lebih rendah pada gilirannya dapat mengurangi akumulasi modal manusia dari anak-anak individu yang terkena dampak di masa depan, menciptakan lingkaran setan selama beberapa generasi,"kata Oxford Economic dalam laporan tersebut, memprediksi bahwa pendapatan yang lebih rendah dan konsumsi pribadi yang lebih sedikit dapat menyebabkan pengurangan sekitar USD 240 miliar antara tahun 2021 hingga 2035 di lima negara berkembang di Asia.

 


Kerugian Peluang Investasi

Sekolah Anak
Ilustrasi sekolah yang tepat untuk anak. Credits: pexels.com by Max Fischer

Oxford Economies juga memperkirakan bahwa total peluang investasi tetap akan dipangkas sebesar USD 181 miliar atau setara Rp. 2,7 kuadriliun di lima negara dari tahun 2021 hingga 2035.

India diperkirakan akan mengalami kerugian investasi tertinggi hampir sebesar USD 100 miliar selama periode yang sama. Itu diikuti oleh Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand, kata laporan itu.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya