Utang Menggunung, Perusahaan Truk Berusia 99 Tahun Terpaksa Tutup dan PHK Karyawan

Berhentinya operasi angkutan truk berusia 99 tahun itu berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar besaran pada 30.000 pekerjanya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 01 Agu 2023, 13:20 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2023, 13:20 WIB
Imigran Gelap Diselundupkan ke Amerika dengan Truk
Sebuah truk ditarik dari lapangan parkir supermarket di Texas, Minggu (23/7). (AP Photo/Eric Gay)

Liputan6.com, Jakarta - Yellow Corp, perusahaan angkutan truk di Tennesse, Amerika Serikat (AS) menghentikan operasi dan melakukan PHK massal setelah gagal mengelola pendanaan tenaga kerjanya.

Melansir CNN Business, Selasa (1/8/2023) berhentinya operasi angkutan truk berusia 99 tahun itu berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar besaran pada 30.000 pekerjanya.

Pekan lalu, beberapa hari sebelum berhenti beroperasi, serikat pekerja membatalkan ancaman pemogokan yang dipicu oleh kegagalan Yellow Corp untuk berkontribusi pada rencana pensiun dan asuransi kesehatan pekerjanya. Serikat pekerja memberi perusahaan satu bulan tambahan untuk melakukan pembayaran yang diminta.

Tetapi pada pertengahan minggu lalu, perusahaan telah berhenti mengambil barang dari pelanggannya dan hanya melakukan pengiriman barang yang sudah ada dalam sistemnya, menurut keterangan dari serikat pekerja dan Satish Jindel, konsultan industri angkutan truk.

Meski serikat pekerja memutuskan untuk tidak melakukan pemogokan, mereka tidak dapat mencapai kesepakatan kontrak baru dengan Yellow Corp, menurut sebuah memo yang dikirim ke serikat pekerja lokal p oleh komite negosiasi Teamsters.

"Berita hari ini sangat disayangkan tetapi tidak mengejutkan. Yellow secara historis membuktikan bahwa ia tidak dapat mengelola dirinya sendiri meskipun ada miliaran dolar dalam bentuk konsesi pekerja dan ratusan juta dana bailout dari pemerintah federal. Ini adalah hari yang menyedihkan bagi para pekerja dan industri pengangkutan Amerika" ungkap Presiden Teamsters Sean O'Brien dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, pejabat Yellow Corp menanggapi permintaan komentar terkait penutupan bisnisnya.

Dibayangi Lonjakan Utang

Ilustrasi showroom truk
Ilustrasi showroom truk. Dok: www.topgear.com.ph

Yellow Corp yang berbasis di Nashville, Tennessee, adalah perusahaan nasional dengan terminal dan karyawan yang tersebar di lebih dari 300 terminal di seluruh Amerika Serikat.

Menurut para ahli di lapangan, perusahaan itu menutup bisnisnya terutama karena jumlah hutang yang tidak terjangkau, di sisi lain harus membayar biaya kontrak serikat pekerja.

"Teamsters telah membuat serangkaian konsesi yang menyakitkan yang membuat mereka mendekati paritas upah dengan operator non-serikat," kata Tom Nightingale, CEO AFS Logistics, sebuah perusahaan logistik pihak ketiga yang menempatkan pengiriman barang senilai sekitar USD 11 miliar setiap tahun dengan berbagai perusahaan angkutan truk.

Dia menyebut, perusahaan mulai mengambil sejumlah besar utang 20 tahun lalu untuk mengakuisisi perusahaan angkutan truk lainnya.

"Sekarang layanan utang mereka sangat besar,” katanya, menunjuk utang senilai USD 1,5 miliar di pembukuannya.

Pekan lalu, Yellow Corp sempat dilaporkan akan mengajukan kebangkrutan pada 31 Juli, meskipun perusahaan mengatakan bahwa mereka terus melakukan pembicaraan dengan Teamsters dan sedang mempertimbangkan semua opsinya.

Beban Utang ke Pemerintah AS Sentuh Rp. 10,5 Triliun

Yellow Corp menerima pinjaman sebesar USD 700 juta atau sekitar Rp. 10,5 triliun dari pemerintah federal pada tahun 2020, pinjaman yang mengakibatkan pembayar pajak memegang 30 persen dari sahamnya yang beredar.

Selain itu, perusahaan juga masih berutang dengan nilai serupa kepada Departemen Keuangan AS menurut laporan triwulan terakhirnya, hampir setengah dari utang jangka panjang yang tercatat dalam pembukuannya.

Saham Yellow Corp telah kehilangan 82 persen nilainya antara waktu pinjaman itu setelah laporan rencana kebangkrutan, ditutup hanya pada 57 sen per saham.

Diketahui, Yellow telah menerima pinjaman selama pandemi, meskipun pada saat itu menghadapi tuduhan penipuan pemerintah dengan membebani pengiriman barang untuk militer AS. Perusahaan akhirnya menyelesaikan perselisihan tanpa mengakui kesalahan dengan membayar denda USD 6,85 juta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya